Bahaya Hutang Negara Yang Terus Meroket

Penerimaan Pajak Rendah 

Pengelolaan utang pemerintahan Jokowi tidak memperhitungkan kemampuan penerimaan dalam negeri sebagai penopang kewajiban utang yang jatuh tempo. Semakin tinggi utang tentu semakin besar pula beban (cicilan pokok dan bunga) yang harus dibayarkan. Semakin besar pula alokasi pendapatan negara yang harus disisihkan untuk melunasi utang.

Pendapatan negara sangat mengandalkan penerimaan pajak sebagai sumber pemasukan utama. Kinerja penerimaan pajak akan memengaruhi langsung kemampuan membayar utang pemerintahan Jokowi.

Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, rasio pajak Indonesia hanya 11%, terendah di dunia. Di tengah utang yang terus bertambah, rasio penerimaan pajak terhadap PDB justru menurun. Pada 2015, rasio penerimaan pajak terhadap PDB hanya 10,76%. Pada 2016 menjadi 10,36% dan pada 2017 rasio penerimaan pajak terhadap PDB diperkirakan 10,82%.

Di tengah lemahnya kemampuan memacu peningkatan penerimaan negara, melalui pajak, pemerintahan Jokowi berencana akan kembali menarik utang tahun ini. Utang tersebut untuk menambal defisit anggaran yang ditargetkan Rp325,93 triliun atau 2,19% dari PDB. Pemerintahan Jokowi merencanakan penarikan utang baru sebesar Rp399,34 triliun.

Sikap pemerintahan Jokowi yang bersikeras dengan kebijakan menambah utang, tentu akan semakin membebani keuangan negara. Akibatnya akan membatasi kemampuan keuangan negara membiayai program dari kebijakan pembangunan untuk menyejahterakan rakyat, termasuk membatasi keuangan negara dalam memperkuat perekonomian nasional. (Sn)

Oleh Kusfiardi

Analis Ekonomi Politik