Rakyat Tertimbun Bunga Utang Rp 109 Triliun

Seorang ibu miskin, yang anaknya sekarat dan terancam mati, rasanya lebih penting dari pemegang obligasi negara yang dijanjikan yield. Tapi kita tahu, dunia tidak sesederhana itu.

Tapi, apa rumit dan apa sederhana pada APBN 2009? Pilihan rumit, saat kita menolak membayar bunga utang. Dengan pemegang obligasi yang memiliki kekuatan besar: sederetan advokat dan lobbyist yang siap membela kepentingan mereka, media yang berada dalam kendali, dan paradigma tim ekonomi yang memegang teguh “rating obligasi dan kredibilitas negara dalam pembayaran utang”. Karena kerumitan itu, kita memilih membayar Rp 109,5 triliun, hampir 11 persen dari APBN, untuk pembayaran bunga utang, yang bahkan tidak mengurangi utang.

Pilihan mudah, saat kita memilih untuk sedikit melupakan orang-orang lemah yang sakit. Toh mereka tidak memiliki siapa-siapa untuk membela kepentingannya. Tanpa ribut-ribut, mereka bisa sekarat dan pelan-pelan mati tanpa pelayanan kesehatan memadai. Jumlahnya pun tak perlu repot-repot dimasukkan ke data statistik. Mudah. Dan kita hanya perlu mengeluarkan 2,1 persen dari APBN untuk dana kesehatan, jauh dari standar WHO yang minimum 15 persen.

Sebuah logika sederhana. Saat tim ekonomi kita sangat menjunjung “kredibilitas pemerintah dalam membayar bunga utang” maka kita akan melupakan “kredibilitas pemerintah dalam menjamin kesehatan rakyat”. Kita patuh membayar bunga utang, lima kali lebih besar dari anggaran kesehatan.

Padahal, salah satu alasan kita berutang banyak hingga terperangkap dengan bunga utang (yield obligasi negara) adalah juga karena paradigma tim ekonomi yang mempercayai perlunya stimulus fiskal dalam menghadapi krisis global.

Setahun lalu, kita masih boleh percaya bahwa stimulus fiskal memang dibutuhkan negeri ini. Seperti yang secara implisit dikatakan Keynes (1936) pada The General Theory of Employment, Interest, and Money: saat terjadi depresi ekonomi, pemerintah harus melakukan ekspansi fiskal untuk menaikkan permintaan total dan memicu kembali perekonomian yang lesu, tidak peduli darimana uangnya.

Jika perlu, menurut Keynes, pemerintah harus berutang, banyak-banyak, agar dapat uang untuk membiayai ekpansi fiskal tersebut. Atas dasar ini maka diterbitkan obligasi negara, sialnya dengan bunga tinggi, agar defisit APBN akibat pembiayaan ekspansi fiskal tertutupi.

Namun, stimulus fiskal sendiri telah dinyatakan gagal terealisasi(sampai akhir Juni stimulus fiskal non pajak baru terserap 2 persen, dan stimulus fiskal PPH 21 baru terserap 8 persen). Dan pada pertengahan Juli, anggaran belanja barang dan modal baru terpakai 30 persen. Dengan kedua fakta tersebut, kegagalan stimulus fiskal dan kebijakan fiskal, nyatanya kinerja makroekonomi 2009 masih cukup baik.

Oleh karenanya, sebuah gugatan mendasar patut diungkapkan : Jika utang tidak digunakan, dan ternyata keadaan baik-baik saja, untuk apa negara ini berhutang banyak-banyak ?

Hanya untuk sebuah kepercayaan akan paradigma Keynes yang mengadvokasi ekspansi fiskal besar-besaran saat krisis ? Atau, untuk sebuah penolakan terhadap invisible hand Adam Smith yang mengadvokasi ketiadaan peran pemerintah saat krisis ?

Rasanya kita tidak pernah tahu. Tapi kita tahu: pendidikan tinggi para ahli ekonomi pemerintah seharusnya tidak membatasi kerangka berpikir mereka yang hanya bisa mengadopsi teori mentah-mentah dari negara lain dengan melupakan kondisi negara ini. Bukan kah Keynes sendiri melawan rasionalitas dasar, bahwa saat krisis sudah sepantasnya negara berhati-hati dan menghemat. Usaha Keynes pada tujuh dekade lalu hanya merupakan sebuah ijtihad temporer yang tidak bisa diambil mentah-mentah untuk saat ini.

Tapi toh kesalahan paradigma yang satu biasanya diikuti oleh kesalahan paradigma lainnya. Meski “stimulus fiskal atas krisis” terbukti gagal, tim ekonomi pemerintah masih teguh memegang “kredibilitas pemerintah dalam membayar bunga utang”. Dan pada akhirnya, APBN harus menanggung pembayaran bunga utang yang lima kali lebih besar dari anggaran untuk kesehatan.

Negara ini sudah merdeka 64 tahun, namun sejarahnya masih menunjukkan pola ketidakadilan tanpa sadar. Kebanyakan rakyat, yang tidak pernah berspekulasi, masih harus mengantri, sangat lama, di puskesmas dan RSUD, yang ramainya seperti di stasiun dan terminal. Mereka menunggu untuk diperiksa oleh dokter bermuka muram yang kelelahan dan sembarangan mendiagnosis.

Sementara itu, para pemegang obligasi negara, yang sebagian turut menciptakan krisis global, dapat menikmati yield yang tinggi, tanpa resiko, dan tanpa melakukan apa-apa. Kita tahu, Indonesia belum merdeka. (Rizki A.Hakim/Mhs FE [email protected])

ilustrasi : internet