Bencana Virus Corona di Indonesia: Ketika Suara Orang Berilmu Tak Didengar

Eramuslim.com – Penanganan virus corona di Indonesia tampak mengacuhkan riset ilmiah yang dilakukan oleh para peneliti dan ahli. Itu terlihat sejak awal isu virus corona di Indonesia hingga hari ini ketika pasien positif COVID-19 mencapai 2.273 orang.

Masih segar di benak kita saat Menteri Kesehatan Terawan menilai riset Harvard T.H. Chan School of Public Health di Amerika Serikat, pada Februari 2020 sebagai penghinaan. Saat itu, riset Harvard memprediksi bahwa semestinya Indonesia telah mencatat kasus positif COVID-19 karena sejumlah penerbangan dari dan ke China masih dibuka pada Januari 2020. Prediksi mereka pun benar, di mana pasien corona 01 dan 02 sangat mungkin terinfeksi pada bulan Februari 2020.

Tak hanya Menkes Terawan, sejumlah figur pemerintahan juga seolah mengabaikan potensi serius corona di Indonesia. Kita masih ingat beberapa lelucon dan komentar optimis non-ilmiah yang dilontarkan para menteri dan setingkatnya, yang seakan menempatkan virus corona bukan masalah serius yang harus diantisipasi. Sampai kemudian virus tersebut menjadi darurat nasional dengan tingkat kematian di Indonesia sebesar 9,13 persen, lebih besar dari rata-rata tingkat kematian global yang ‘hanya’ 5,38 persen.

Ketiadaan antisipasi sejak awal itu tidak kemudian membuat pemerintah mendengar saran para ilmuwan. Sejumlah imbauan peneliti agar pemerintah menerapkan intervensi tinggi belum dilaksanakan, begitu juga dengan anjuran lockdown atau karantina wilayah.

Presiden Jokowi menyebut, kebijakan lockdown yang diterapkan di sejumlah negara tak bisa diterapkan di Indonesia karena faktor karakter, budaya, dan kedisiplinan yang berbeda. Oleh karena itu, “di negara kita yang paling pas adalah physical distancing”, kata Jokowi.