Di Yogya, Non-Pribumi Dilarang Miliki Tanah, Mau Bilang Sultan Rasis?

Seperti dilansir Nusantarakini, aturan itu lahir karena ada sejarahnya. Yakni pada saat tahun 1948, atau tahun-tahun saat mempertahankan kemerdekaan RI, sejarah mencatat bahwa etnis Tionghoa lebih memilih membantu pasukan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia ketimbang ikut berjuang bersama elemen bangsa lainnya untuk mengusir Belanda. Dalam sejarah, ini dicatat sebagai Agresi Militer II Belanda, yakni Desember 1948. Saat itu komunitas Tionghoa yang ada di Jogja justru berpihak dan memberikan sokongan ke Belanda yang sebelumnya sudah menjajah Indonesia 350 tahun.

Sejak itulah Kanjeng Sultan Hamengkubuwono IX kemudian mencabut hak kepemilikan tanah terhadap etnis Tionghoa di Yogyakarta. Tahun 1950, ketika NKRI kembali tegak dan berhasil dipertahankan dengan keringat dan darah, komunitas Tionghoa akan eksodus dari Yogyakarta. Namun Kanjeng Sultan HB IX masih berbaik hati dan menenangkan ke mereka bahwa meskipun mereka telah berkhianat kepada Negeri ini tetapi tetap akan diakui sebagai tetangga. “Tinggallah di Jogja. Tapi maaf, saya cabut satu hak anda, yaitu hak untuk memiliki tanah”.

Itulah kenapa hingga sekarang ini pengusaha Tionghoa tidak punya hak milik atas tanah di berbagai pusat bisnis di kota Jogja. Mereka hanya bisa punya hak guna atau hak pakai sampai jumlah tahun tertentu. Hal ini diperkuat bahwa pada 1975, Paku Alam VIII menerbitkan surat instruksi kepada bupati dan wali kota untuk tidak memberikan surat hak milik tanah kepada warga negara nonpribumi. Surat ini masih berlaku.

Surat instruksi tersebut mengizinkan warga keturunan memiliki tanah dengan status hak guna bangunan (HGB), bukan hak milik (SHM). Bila tanah tersebut sebelumnya dimiliki pribumi, lalu dibeli warga keturunan, maka dalam jangka tahun pemakaian tertentu tanah itu status kepemilikannya dialihkan pada negara.

Kalangan investor dan cukong sudah beberapa kali menggugat aturan itu dan mengadukan hal itu ke Presiden. Dalihnya ialah aturan itu dianggap rasis dan tidak adil. Para penggugat itu biasanya menyuruh dan mendanai LSM. Namun oleh Mahkamah Agung tetap tidak dikabulkan karena hal itu bagian dari keistimewaan DIY.

Parampara Praja bidang pertanahan Pemda Yogyakarta, Suyitno menjelaskan, surat instruksi itu sudah tepat.