Bentuk kemunduran yang terakhir, menurutnya, “melibatkan kelemahan lembaga – lembaga demokrasi dari dalam. Bentuk-bentuk halus ini sangat berbahaya ketika mereka dilegitimasi melalui institusi yang seharusnya melindungi nilai-nilai demokrasi”, ujarnya dalam artikel itu yang dipublikasi “Journal of Democracy – Johns Hopkins University Press (January 2016). “
Mengutip laporan Freedom House (2020) peneliti Burhanuddin Muhtadi (43) dalam tulisannya “Demokrasi Berakal Budi” (Kompas, 2020) menyebut, dunia sedang dilanda resesi demokrasi.
Kini, peringkat demokrasi Indonesia terjerembab ke peringkat 64 dengan skor hanya 6,39. Artinya, kata Direktur Eksekutif Indikator Politik itu, kita berada di dasar paling bawah kategori “flawed democracies” (negara demokrasi yang cacat).
Menurut lembaga pemeringkat demokrasi terkemuka di dunia yang dikutipnya, “rapor merah Indonesia terletak pada kebebasan sipil dan kultur politik, terutama menguatnya intoleransi dan politik identitas”.
Berbicara tentang kemunduran demokrasi, jauh sebelum Muhtadi, telah lebih dahulu Aurel Croissant (professor ilmu politik Universitas Heidelberg, Jerman) bersama Larry Diamond (sosiolog politik Amerika) menulis : “Introduction: Reflections on Democratic Backsliding in Asia” (Global Asia Maret 2020).
Di seluruh dunia, kata mereka, demokrasi sedang menghadapi masa-masa sulit. Adapun tantangannya, diuraikan, terkait: kualitas demokrasi sedang menurun di sejumlah negara demokrasi maju dan baru, dan laju kegagalan demokrasi semakin cepat.
Pada saat yang sama, keterbukaan demokrasi sedang dibatalkan dalam sistem politik yang sebelumnya mengalami semacam liberalisasi politik, dan otokrasi kembali mengeras.
“Kemerosotan pemerintahan demokrasi telah menjadi perhatian utama para pembuat kebijakan, aktivis , akademisi dan warga di seluruh dunia”.
Persetujuan DPR RI atas UU Cipta Kerja dengan format omnibus, yang dikampannyekan oleh pemerintah, termasuk presiden Jokowi ,bahwa sesungguhnya bertujuan menciptakan “pemerataan kenyamanan”.
Namun pada kenyataanya meleset malah menimbulkan “pemerataan kemarahan”masyarakat yang direpresentasi kalangan buruh, mahasiswa dan bahkan pelajar. Ekses buruk penolakan publik terhadap UU Cipta Kerja memantik kembali “pembelahan” masyarakat.
Menandai kemunduran demokrasi atau lahirnya “flawed democratic”. Mengapa elemen mahasiswa bangkit membangun “perlawanan” masif mengambil alih urusan protes kalangan buruh?
Benang merahnya ada pada, karena mahasiswa dan pelajar itu adalah putra–putri kaum buruh. Ini yang menjelaskan mengapa mereka sangat sensitif dan tidak bisa dipisahkan dari penderitaan dan perjuangan kaum buruh.
Inilah mengapa mahasiswa dan pelajar itu lebih mudah tersentuh merasakan ancaman ketidak adilan yang tersimpan di dalam UU Cipta Kerja.
Konsistensi perlawanan mahasiswa yang diperlihatkan dalam kasus penolakan UU Cipta Karya, dapat dibaca sebagai jawaban atas kekalahan mereka di dalam berbagai momentum unjuk rasa sebelumnya.
Kasus jatuhnya korban dua orang mahasiswa yang tewas tertembak aparat pada unjuk rasa mahasiswa (26/09/2019) di Kendari, Sulawesi Tenggara karena menentang revisi UU KPK menorehkan luka pada mahasiswa maupun terhadap demokrasi itu sendiri.
Kontroversial UU Cipta Kerja membuka ruang mahasiswa membangun integrasi konsolidasi nasional guna menjawab panggilan sejarah. Sebagai jaringan rantai pasok energi perjuangan masyarakat sipil (civil society) melawan ketidakadilan yang beririsan dengan pelemahan demokrasi.
Gerakan mahasiswa yang spontan dan merata di seluruh Indonesia menentang ketidakadilan memperkuat jaringan lapisan perjuangan masyarakat sipil untuk melindungi demokrasi dari upaya pelemahan sistemik negara.
Indikasi pelemahan demokrasi secara pelan tapi pasti, gejalanya mulai terlihat pada tahun terakhir dan awal pemerintahan kedua Jokowi, merujuk kasus pemaksaan berlakunya revisi UU KPK disusul beberapa UU berikutnya yang menihilkan partisipasi dan aspirasi publik.