Menurut Marcus Mietzner Associate Professor di Australian National University, Australia, “dalam kasus Indonesia, eksekutif juga menggunakan polarisasi ini untuk membenarkan tindakan yang semakin tidak liberal.
Kombinasi, polarisasi dan peningkatan illiberalisme eksekutif telah mengurangi sumber daya aktivis masyarakat sipil Indonesia, mempercepat kemunduran demokrasi negara dalam proses tersebut” (“Sources of Resistance to Democratic Decline: Indonesia Civil Society and Its Trials” Juli 2020).
Situasi kenegaraan dan kebangsaan kita hari ini harus diakui sedang berada “di ujung tanduk”. Mahasiswa sebagai kekuatan perubahan dan elemen idealis, diyakini menyatukan dirinya pada politik kebangsaan, bukan pada politik partisan. Mereka menentang ketidakadilan guna menghindarkan demokrasi mengalami distrosi.
Harus ada jalan tengah menghentikan mata rantai kerusuhan. Semua pihak, terutama pemimpin eksekutif dan pemimpin legislatif, yang terpilih karena ada suara dari rakyat, agar ikhlas membungkukkan badan sedikit saja.
Mengulurkan tangan menyapa mahasiswa yang relatif adalah anak-anak mereka, para calon pemimpin bangsa, maka diyakini bara ketegangan dapat diredupkan.
Budaya saling menghargai, saling menghormati dan saling meninggikan sebagai cerminan peradaban tinggi ketimuran yang mengIndonesia wajib hukumnya mengemuka. Adalah tanggung jawab pemimpin mencontohkannya.
Di dalam masyarakat modern yang berkeadaban, apalagi dalam konteks penggunaan hak masyarakat berpendapat, tentu saja budaya borgol dan water canon serta gas airmata tidak sepantasnya selalu disuruh bicara. Ini untuk menghindari pertentangan yang berpotensi menyeret semua pihak ke dalam jebakan budaya primitif.
(Penulis: Zainal Bintang, Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya)