Divonis Bersalah, Anggota DPR: Pak Presiden Segeralah Meminta Maaf

“Sehingga kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana. Kabarnya juga para jurnalis tidak bisa mengirim berita yang akurat saat kericuhan itu terjadi, bukankah ini melanggar kebebasan pers yang sebagaimana tertuang dalam UI 40/1999 tentang Pers,” ujarnya.

Jika pemerintah beralasan bahwa pemblokiran itu untuk menutup penyebaran informasi hoax yang dapat memperkeruh suasana di Papua. Tapi, pada sisi yang lain justru pemblokiran itu membuat kita hanya thau dari versi pemerintah saja.

Seharusnya jika pemerintah takut hoax, bisa menghalau dengan memberikan informasi yang benar, bukan malah memblokirnya. Untuk memberikan informasi yang benar, pemerintah punya semua sumberdaya dan infrastrukturnya.

“Masak kalah dan takut dengan informasi hoax yang disebar oleh hanya satu dua orang?” tutur Netty.

Alih-alih sejak awal memang pemblokiran itu syarat dengan maladministrasi. Pasalnya, kedaruratan dan situasi mendesak seperti apa sehingga pemerintah harus membatasi akses internet warga Papua.

“Kan tidak ada penjelasannya? Pemerintah hanya menyampaikan pemblokiran itu melalui siaran pers dan ini tidak cukup,” pungkas Netty. (Rmol)