Djoko Edhie: Nadiem, Mundurlah (II)

2. Jumlah Mata Pelajaran di SMP menjadi maksimal 5 mata pelajaran dengan basis utama pembelajaran pada Coding dan di SMA menjadi maksimal 6 mapel tanpa penjurusan lagi mereka yang ingin fokus pada keahlian tertentu dipersilakan memilih SMK.

Jangan dikapling-kapling pelajaran di SMP dan SMA berdasar jumlah mata pelajaran, namun sesuaikan dengan kebutuhanya. Bahas dulu kebutuhannya apa? Di SMA harus tetap ada penjurusan IPA dan IPS. Karena SMA adalah persiapan masuk perguruan tinggi. Penjurusan di SMA harus tetap ada.

3. SMK karena fokus pada keahlian maka harus menggunakan sistem SKS, mereka yang lebih cepat ahli bisa menuntaskan SMK dua tahun atau kurang, sementara mereka yang lambat bisa saja sampai 4 tahun dan ujian kelulusan SMK pada keahliannya bukan pada pelajaran normatif dan adaptif. SMK tidak boleh kalah dari BLK yang hanya 3, 6 atau 12 bulan saja. LPTK diwajibkan menyediakan Sarjana Pendidikan atau Alumni PPG yang dibutuhkan SMK.

Bapak kembali gagal paham. SMK bukan sekolah keahlian, namun keterampilan (skill/vokasi). Kembali lagi, sekolah di tingkat dasar dan menengah sesuai usia dan perkembangan pancainderanya, bukan dengan modus jejal-menjejal. Tidak perlu sistem SKS di SMK. Kalau Bapak paham, anak lulusan SMK harus magang di industri 3 tahun, sebelum bekerja. Industri yang mengeluarkan sertifikat keterampilannya. Sedang SMK mengeluarkan ijazah pendidikannya.

4. Jabatan Pengawas Sekolah dihapuskan hingga jumlah guru yang dibutuhkan mencukupi. Jabatan pengawas sekolah boleh diadakan kembali jika jumlah kebutuhan guru sudah terpenuhi, tidak ada lagi guru honorer dan semua guru sudah berstatus PNS atau Guru Tenaga Kontrak Profesional dalam Status PPPK dengan pendapatan minimal setara Upah minimum yang ditetapkan pemerintah sesuai standar kelayakan hidup. Hilangnya tanggung jawab mengajar kepada kepala sekolah seharusnya dimaksimalkan fungsinya sehingga keberadaan pengawas sekolah untuk sementara bisa diabaikan.

Kaji kembali sesuai keuangan negara, jangan muluk-muluk.

5. Seluruh beban administrasi guru dibuat dalam jaringan (online) dan lebih disederhanakan, RPP cukup 1-2 halaman tapi jelas tujuan dan aplikasi pembelajarannya, tak ada lagi berkas administrasi dalam bentuk “hard copy”, verifikasi keaslian dilakukan secara acak dengan kewajiban menunjukkan berkas asli, bukan Foto Copy.

Saya enggak yakin dalam 5 tahun akan terwujud, karena hal itu cocok untuk negara maju. Ini Indonesia, jangan lupa.

6. Pengangkatan Guru berdasakan kompetensi dan kebutuhan kurikulum yang nantinya dibuat. Uji Komptensi Guru wajib dilaksanakan minimal sekali dalam 3 (tiga tahun)

Bapak berlebihan, tanpa menuntaskan akar masalahnya. Proses pendidikan Guru di Indonesia salah. Mestinya lewat jalur akademik bukan jalur keguruan. Guru fisika harus tahu fisika, bukan hanya bisa mengajari belajar fisika.

7. Sistem Honorer dihapuskan sehingga tak ada lagi guru yang mengisi ruang kelas yang statusnya tidak jelas, harus jelas statusnya, apakah PNS, PPPK atau GTY. Pendapatan Guru minimal mencapai Upah Minimum yang ditetapkan pemerintah berdasarkan minimal kelayakan hidup.

Cek kembali keuangan negara. Jangan sampai ini hanya pepesan kosong atau angin surga.

8. Jika kurikulum diubah, maka bimtek harus ditiadakan dan diganti dengan video tutorial dengan kewajiban uji secara acak terhadap pemahaman kurikulum. Anggaran bimtek dialihkan untuk rekruitmen guru

Ini hanya masalah teknis, tidak menyentuh akar masalahnya.

9. Anggaran Peningkatan Kompetensi guru dihapuskan dan upaya peningkatan kompetensi guru diserahkan kepada organsiasi profesi guru berdasarkan acuan kompetensi yang dibutuhkan. Anggaran Pelatihan Guru dialihkan untuk rekruitmen guru. Organisasi profesi guru diberikan legalitas dalam melaksanakan upaya peningkatan kompetensi guru, pemerintah cukup melakukan uji terhadap standar kompetensi guru yang diinginkan. Organisasi profesi guru harus segera mendapatkan pengesahan setelah melalui verifikasi dan sepenuhnya pembinaan guru diserahkan kepada organisasi profesi guru dalam pengawasan Pemerintah.

Badan eksternal independen uangnya dari mana? Mau dibuat profit, calon guru harus bayar? Uangnya dari mana?

10. Mengatur kembali penentuan “sekolah daerah tertinggal-terpencil-terdepan-terkebelakang sesuai kondisi sekolah, bukan berdasarkan data kemendes.

Ini hanya masalah teknis, tidak bisa dianggap gebrakan.

Sekali lagi, sebagai pendidik di UGM dengan masa kerja 30 tahun lebih, saya berpesan jernihlah dalam berpikir dan hati-hatilah dalam bertindak. Ini Indonesia. Jangan sampai maksud baik Bapak justru merugikan anak didik. Pegang teguh prinsip comprehensive understanding, coordination and sustainable development, apalagi Bapak orang baru di dunia pendidikan.

Mohon maaf jika ada ucapan saya yang kurang berkenan. Terima kasih.(*end/sumber)

Penulis: Djoko Edhie S. Abdurrahman, Anggota Komisi Hukum DPR (periode 2002 – 2009), Advokat. Wasek Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)