DPR Minta Jokowi Tak Remehkan Soal Kasus TKA Cina Ilegal

pekerjaEramuslim.com – Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyoroti maraknya tenaga kerja asing ilegal asal RRC di penghujung tahun 2016, sekaligus meminta Preiden Joko Widodo tidak memandang remeh isu mambludaknya pekerja asal Negeri Tirai Bambu ini.

“Isu buruh asing ilegal asal Cina perlu mendapat perhatian khusus karena isu itu terkait dengan tiga soal sekaligus, yaitu soal ekonomi, politik dan keamanan,” kata Fadli dalam keterangan tertulisnya.

Dari sisi ekonomi, kata Fadli, sebagai investor Cina hanya menempati urutan kesembilan negara dengan investasi terbesar di Indonesia. Begitu juga sebagai kreditor, Cina hanya menempati urutan kelima, kalah oleh Singapura, Jepang, AS dan Belanda.

Ironisnya, kata dia, jumlah tenaga kerja asing di Tanah Air didominasi oleh tenaga kerja asal RRC yang mencapai 23 persen. “Dari sisi politik ekonomi, ini agak bermasalah,” kata dia.

Presiden Jokowi beberapa waktu menampik bahwa pekerja RRC mendominasi pekerja asing yang mengais rejeki di Indonesia. Menurut Jokowi, jumlah pekerja Tiongkok hanya sekitar 21 ribu orang dan jauh lebih kecil dibanding tenaga kerja Jepang dan Korea Selatan. Presiden juga menampik isu yang menyebut ada 10 juta tenaga kerja RRC di Indonesia.

Fadli membeberkan, dari sisi politik Indonesia pernah punya problem sejarah terkait konflik etnis yang melibatkan etnis Cina, baik pada masa kolonial maupun sesudah kemerdekaan. Itu sebabnya, isu mengenai buruh asing ilegal asal Cina gampang menjadi isu sensitif.

“Pemerintah tak boleh menggampangkan isu ini menjadi semata-mata soal angka atau ekonomi,” kata dia.

Adapun soal keamanan, Fadli menjelaskan kasus diterobosnya area militer Halim Perdanakusuma oleh tenaga kerja asing asal Cina dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, selanjutnya, kasus cabe mengandung bakteri berbahaya do Bogor yang ditanam oleh tenaga kerja ilegal asal Cina. Hal ini, kata dia, membuktikan, isu tenaga kerja asing ilegal asal Cina ini akhirnya telah menjadi isu keamanan yang serius.

“Jangan lupa, soal keamanan ini bukan hanya bersifat militer, tapi juga non-militer. Dalam diskursus keamanan kontemporer, ancaman non-militer ini ada berbagai jenis, mulai dari lingkungan, pangan, energi, hingga ekonomi,” ujarnya.

Selain itu, ancaman politik yang dihadapi oleh negara-negara berkembang memang jauh lebih majemuk dibandingkan negara-negara maju. Sebab, selain menghadapi ancaman dari luar, negara-negara berkembang juga menghadapi tantangan dalam menjaga stabilitas dalam negerinya.

“Sesudah Reformasi politik kita kurang memperhatikan masalah pertahanan dan lebih banyak disibukkan oleh masalah-masalah dalam negeri lainnya. Ini harus diperhatikan oleh pemerintah, karena sepanjang tahun 2016, dan dalam dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, kapasitas pemerintah dalam persoalan pertahanan dan keamanan nasional banyak dipertanyakan,” ujarnya.

Dalam dimensi ekonomi yang lebih luas, isu mengenai tenaga kerja asing ilegal asal Cina yang berkali-kali muncul sepanjang tahun 2016 juga menggambarkan adanya masalah dalam orientasi pembangunan pemerintah.

“Politik pembangunan pemerintah terlalu mengabdi kepada kepentingan investor,” sebut dia. (gh/rn)