Emha: Saya Kok Cemas Lihat Reklamasi, Meikarta, dan Kontrak-Kontrak Semacam Itu…

Pribumi itu bukan siapa kita, apa warna kulit kita, apa Agama kita. Pribumi itu bukan personalitas, bukan pula identitas. Pribumi itu komitmen kepada rakyat, karena kita sendiri adalah rakyat, bukan yang berkuasa atas rakyat.

Pribumi itu bukan apa jabatan atau profesi kita, di mana alamat kita. Kalau kita memijakkan sepatu di atas kepala rakyat, kalau kita mengambil untung sendiri tidak dalam kebersamaan dengan keuntungan semua rakyat, berarti kita bukan rakyat. Karena bukan rakyat, maka kita adalah penghisap, penindas, pelintah.

Kalau kita “menang ngasorake“, “sukses dengan menyusahkan” atau “beruntung dengan merugikan”, maka kita bukan rakyat. Pribumi itu kesetiaan kepada rakyat.

Pribumi itu bukan mulut kita mengucapkan Pancasila atau Bhinneka Tunggal Ika. Melainkan kita tidak melakukan apapun yang membuat hati rakyat kecil diam- diam tidak ikhlas, ngersulo dan memendam sekam sejarah.

Menjadi pribumi itu menyatu dengan rakyat kecil dan saling mencintai dalam kesatuan kita dengan mereka. 1- Mencintai. 2- Rakyat. 3- Kecil.

Cinta itu kondisi batin, mencintai itu tindakan, perjuangan, keteguhan dan kesetiaan. Rakyat itu ra’iyah. Ra’iyat. Kepemimpinan. Pemegang kedaulatan sejati. Kecil itu lemah, karena sudah melimpahkan kekuasaannya, sudah mewakilkan kedaulatannya, sehingga tak lagi berkaki dan bertangan. Kita mengabdi kepada yang kecil, kecuali kita bukan manusia.

Saya kok cemas melihat Reklamasi, Meikarta, serta banyak program dan kontrak-kontrak yang sejenis itu. Apa kita yakin pasti hari esok bisa kita rancang, laksanakan dan kendalikan. Saya khawatir nanti ada suara teriakan keras “shoihatan wahidatan” yang “min haitsu la yahtasib”. Untung saya tinggal di luar itu semua.

Yogya, 23 Oktober 2017

Oleh Emha Ainun Nadjib