Faisol Kritik Jokowi Pakai Data Agraria, Kok Malah Jadi Tersangka?

– Kebohongan Demi Kebohongan Dipertontonkan oleh Seorang Pemimpin Negara. Bagaimana Rakyat akan Percaya terhadap Pemimpin seperti ini.

– Konflik agraria rezim Jokowi: 41 orang tewas, 51 orang tertembak, 546 dianiaya, dan 940 petani; pejuang lingkungan dikriminalisasi. Terjadi 1.769 kasus konflik agraria sepanjang pemerintahan tahun 2015 – 2018. Kasus tersebut meliputi konflik perkebunan, properti, hutan, laut, tambang, dan infrastruktur.

– Polisi gagal melindungi hak asasi manusia saat Aksi 21-23 Mei 2019.

Soal data riset yang digunakan Faisol, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengakui data tersebut hasil riset lembaganya. Data tersebut dirilis KPA pada catatan akhir tahun KPA 2018, salah satunya seperti yang tercantum dalam halaman 41.

Dewi pun menyebut sikap polisi sangat reaktif dalam kasus ini. Ia balik meminta polisi untuk menguji data hasil riset yang mereka lakukan, dan bukan dengan serampangan menyebut data tersebut berita bohong tapi tak melakukan pengujian.

“Tidak asal menerapkan UU tersebut lalu menuduh bahwa ini adalah berita bohong,” ujar Dewi.

Kasus ini, mengingatkan publik pada kasus yang menjerat Uril dan Martha. Keduanya dicokok polisi pada Oktober 2018, usai mengunggah postingan di laman Facebook mereka soal kewaspadaan akan potensi gempa besar megatrush yang akan terjadi di Pulau Jawa.

Kala itu, Uril juga mengunggah empat postingan terkait informasi kegempaan.

Pertama soal gempa besar Pulau Jawa dan gempa beruntun di Lombok yang kemudian diperkarakan pihak kepolisian sebagai hoaks, kedua soal patahan aktif Sesar Kendeng yang melewati Surabaya dari mediatataruang.com, dan ketiga soal video penjelasan lempeng aktif di bumi yang diproduksi oleh media Deutsche Welle dan terakhir soal fenomena kolam renang yang airnya berombak dari berita tempo.co.

Penangkapan terhadap keduanya sempat dikritik ahli hukum pidana dari UII, Mudzakir. Menurutnya, dalam penetapan hukum pidana, seseorang tidak bisa dijerat dengan pidana apabila tidak ada unsur niat jahat. Ia justru mendorong, pemerintah seharusnya justru memberi informasi tandingan lewat pernyataan-pernyataan resmi.

“Cukup diberi peringatan saja, tidak harus pidana. Tidak usah seperti itu (ditangkap). Orang sudah susah tambah susah lagi. Belum tentu semuanya salah.” bela Mudzakir, kala itu. [tt]