Fakta di Balik Surat Istri Menteri Yang Dinilai Menyalahi Kewenangan

Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), Maman Abdurrahman mendatangi KPK di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, 4 Juli 2025. Tempo /Ilham Balindra

Eramuslim.com – Surat resmi berkop Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan nomor B-466/SM.UMKM/PR.01/2025 mendadak jadi perbincangan publik setelah tersebar luas di media sosial. Isinya memuat permintaan agar kedutaan besar di berbagai negara mendampingi Agustina Hastarini, istri Menteri UMKM Maman Abdurrahman, dalam rangkaian kegiatan yang disebut sebagai “misi budaya.”

Menurut Guru Besar Ilmu Pemerintahan IPDN, Djohermansyah Djohan, memang ada praktik umum pejabat negara meminta bantuan diplomatik saat berkunjung ke luar negeri. Tapi, ketika permintaan itu datang dari atau untuk istri pejabat tanpa dasar penugasan resmi, maka itu sudah masuk ke ranah penyalahgunaan wewenang.

Secara hukum, istri pejabat bisa saja disebut sebagai “pihak lain” yang diperbolehkan melakukan perjalanan dinas berdasarkan aturan Kementerian Keuangan. Namun, dalam kasus ini, Menteri UMKM sendiri secara terbuka menyatakan bahwa kunjungan sang istri ke Eropa bukan merupakan bagian dari tugas kedinasan. Ia bahkan menegaskan tidak pernah memberikan disposisi terkait surat tersebut.

Dalam klarifikasi yang disampaikan usai dimintai keterangan oleh KPK pada 4 Juli 2025, Maman menyebut istrinya hanya menemani anak mereka yang mengikuti kompetisi budaya, dan seluruh biaya perjalanan ditanggung pribadi. Tiket dan konsumsi diklaim dibayar langsung dari rekening sang istri sejak Mei 2025. Namun, keberadaan surat permintaan pendampingan resmi kepada berbagai kedutaan besar—dari Sofia hingga Istanbul—justru membingungkan publik. Maman bersikukuh tak pernah mengarahkan, apalagi menandatangani dokumen tersebut.

Meski tidak ada dana negara yang digunakan, Djohermansyah menilai tindakan meminta dukungan dari perwakilan diplomatik tetap menunjukkan penggunaan jabatan untuk kepentingan pribadi. Ini memperkuat kesan bahwa praktik nepotisme masih hidup dalam tubuh birokrasi Indonesia.

Dosen Etika dan Filsafat Politik dari STF Driyarkara, Setyo Wibowo, menambahkan bahwa dampak etis dari kejadian ini tidak bisa dianggap remeh. Publik, katanya, tidak hanya menilai pejabat dari laporan anggaran, tetapi juga dari kepekaan moral mereka dalam menjaga integritas. Walau pengakuan kesalahan patut diapresiasi, bekas luka ketidakpercayaan publik sudah terlanjur tertoreh.

Skandal ini menjadi cerminan bahwa di tengah sorotan masyarakat terhadap transparansi dan akuntabilitas, tindakan kecil yang menyalahgunakan simbol kekuasaan tetap bisa mengguncang kepercayaan. Dan dalam kasus ini, nama baik pejabat ikut tercoreng, bahkan ketika mereka berkata tak tahu-menahu soal asal-usul surat itu.

Sumber: Tempo.co

Beri Komentar