Fariz Al-Mehdawi: Palestina Akan Belajar dari Indonesia

Pemerintah Palestina akan menimba pengalaman dari Indonesia yang dikenal dengan keberagaman etnisnya, namun tetap hidup rukun berdampingan. Hal tersebut disampaikan oleh Duta Besar Palestina Fariz Al-Mehdawi dalam Seminar tentang Kebangkitan Umat Islam dan Kehancuran Zionis Israel, di Auditorium Adhiyana, Gedung Wisma Antara, Jakarta, Kamis(30/8).

"Sebagaimana diketahui di Palestina ada berbagai kelompok, di antara Hamas dan Fattah yang masih berkonflik, karenanya kita ingin menimba ilmu dengan Indonesia, " jelas Mehdawi yang gandrung dengan rokok Marlboro.

Meski tidak tertutup terhadap saran-saran terbaik yang berasal dari pihak luar untuk melawan Israel, Ia meminta, kepada semua pihak diluar negaranya agar tidak terlalu memperbesar konflik antara Hamas dan Fattah.

"Saran yang sudah disampaikan oleh Presiden SBY kepada Mahmud Abbas adalah saran yang terbaik, kita akan mencoba mengimplemetasikannya, " ujar Mehdawi yang berasal dari Kubu Fattah.

Lebih lanjut Ia mengatakan, semua rakyat Palestina optimis dapat merebut kembali kota suci di mana terdapat di sana Masjidil Aqsha, sebagaimana firman Allah kemenangan Palestina dari zionis Israel tinggal menunggu waktu.

Di tempat yang sama, Pengamat sekaligus Penulis Buku buku tentang Palestina, Herry Nurdi mempunyai pendapat berbeda. Menurutnya, negara mana pun termasuk Indonesia tidak boleh lepas tangan terhadap konflik Hamas dan Fattah, karena sejak awal keduanya telah berikrar di depan Baitullah untuk bersatu melawan penjajahan zionis.

"Justru kita perlu menyelesaikan itu, keduanya sudah melakukan perjanjian suci yang telah menggetarkan AS, " ujar Herry.

Ia menyatakan, permasalahan Palestina diarahkan oleh pihak tertentu untuk semakin mengerucut, seakan-akan bukan lagi masalah umat Islam secara mendunia, namun hanya terbatas masalah antara faksi Hamas dan Fattah. Di mana, sebelum tahun 1970-an, Palestina merupakan masalah umat Islam secara keseluruhan, namun pada periode itu mengerucut menjadi masalah bangsa-bangsa Arab.

"Selanjutnya pada tahun 1980-an kembali mengerucut menjadi masalah Palestina, dan kemudian pada tahun 1990-an lebih kecil lagi menjadi hanya antara Hamas dan Fatah, " imbuhnya.

Oleh karena itu, Herry menekankan semua pihak harus menyadari kondisi tersebut dan mendorong penyelesaian masalah Palestina, yaitu mengembalikan tanah di kawasan itu menjadi milik bangsa Palestina.(rz/novel)