Gaji Hakim Naik 280%, Bisakah Uang Membeli Integritas?

Eramuslim.com – Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, resmi mengumumkan kenaikan gaji hakim hingga 280 persen dalam sambutannya di acara pengukuhan 1.451 hakim di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Kamis (12/6/2025).

Menurut Prabowo, langkah ini merupakan bagian dari upaya mewujudkan kesejahteraan para penegak hukum, yang dianggap sangat penting demi menciptakan sistem peradilan yang bersih, kuat, dan tak tergoyahkan oleh kepentingan pribadi.

“Negara membutuhkan hakim yang tidak bisa dibeli,” tegas Prabowo dalam pidatonya.

Kenaikan ini menjadi yang tertinggi dalam sejarah terkini. Bila merujuk pada gaji pokok hakim golongan IIIa dengan masa kerja kurang dari satu tahun—yang sebelumnya sebesar Rp 2.785.700—kenaikan 280 persen berarti gaji pokok mereka bisa melonjak hingga sekitar Rp 7.799.960.

Terakhir kali gaji hakim dinaikkan adalah pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2024, yang merevisi aturan lama soal hak keuangan dan fasilitas hakim di bawah Mahkamah Agung. Meski demikian, masih banyak yang menganggap bahwa hak finansial hakim belum menyentuh angka ideal.

Ketua Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Yasardin, menegaskan bahwa kesejahteraan hakim tak semata soal gaji atau tunjangan, tetapi juga mencakup fasilitas dasar seperti tempat tinggal, jaminan kesehatan, transportasi, dan keamanan kerja.

“Negara harus hadir menjamin rasa aman dan layak bagi para hakim. Bukan hanya melalui tunjangan, tetapi dengan sistem kesejahteraan yang menyeluruh,” ujarnya dalam sebuah webinar bertajuk “Kesejahteraan Hakim: Tanggung Jawab Siapa?” pada Februari 2024.

Isu peningkatan kesejahteraan hakim sendiri telah menjadi sorotan sejak masa kampanye Pilpres 2024. Beberapa pasangan calon bahkan sempat menyuarakan komitmen untuk menaikkan gaji hakim dan memperbaiki sistem remunerasi secara keseluruhan.

Apakah kesejahteraan finansial benar-benar bisa menjamin integritas dan keadilan?

Kenaikan gaji memang dapat mengurangi godaan suap. Namun dalam praktiknya, korupsi dan ketidakadilan dalam peradilan tidak semata-mata lahir dari kekurangan uang, melainkan dari kultur, integritas pribadi, sistem pengawasan, serta akuntabilitas kelembagaan yang lemah.

Mari kita ambil satu contoh terkenal yang mengguncang kepercayaan publik terhadap sistem peradilan: Hakim Akil Mochtar, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi.

Akil memiliki penghasilan dan fasilitas yang sangat tinggi. Sebagai hakim konstitusi sekaligus Ketua MK, ia menerima gaji pokok, tunjangan kehormatan, rumah dinas, kendaraan dinas, hingga fasilitas keamanan. Namun pada tahun 2013, ia ditangkap oleh KPK karena terbukti menerima suap terkait sengketa pilkada. Tidak hanya satu kasus, tapi berlapis-lapis korupsi. Rumah dinasnya dipenuhi uang tunai dalam koper. Akil dijatuhi hukuman seumur hidup.

Di sisi lain, kita juga punya contoh hakim-hakim dengan kehidupan sederhana namun teguh memegang prinsip, seperti Hakim Albertina Ho yang dijuluki “srikandi hukum” karena ketegasannya mengungkap mafia pajak Gayus Tambunan, atau Artidjo Alkostar, hakim agung yang hampir selalu memberi vonis maksimal bagi koruptor, bahkan ketika itu membuatnya dibenci oleh rekan-rekan sesama aparat hukum.

Mereka adalah bukti bahwa kekuatan moral dan prinsip jauh lebih menentukan dibandingkan nominal gaji. Tanpa reformasi menyeluruh—mulai dari rekrutmen hakim, pendidikan karakter, pengawasan internal yang ketat, hingga transparansi proses hukum—kenaikan gaji justru bisa menjadi karpet mewah yang menutupi lubang sistemik yang belum diperbaiki.

Rakyat bukan hanya butuh hakim yang sejahtera, tapi hakim yang berani, jujur, dan takut pada kebenaran, bukan kekuasaan.

Sumber: Merdeka.com, detikNews, CNN Indonesia, dan Kompas.com

Beri Komentar