Gde Siriana: Puja-Puji Para Penjegal Habibie dan Kesadaran Yang Terlambat

Isu utama untuk menjegal Habibie maju lagi dalam Pilpres berikutnya adalah stigma bahwa Habibie bagian dari Orde Baru. Pihak oposisi, yang dimotori oleh parpol nya Habibie sendiri Golkar dengan aktornya Akbar Tanjung, menyebutkan salah satu kesalahan terbesar yang Habibie lakukan saat menjabat sebagai Presiden ialah memperbolehkan diadakannya referendum provinsi Timor Timur (sekarang Timor Leste), hingga kemudianTimor Timur lepas dari NKRI pada 30 Agustus 1999.

Dalam bukunya, Habibie mengaku hendak sesegera mungkin menyelenggarakan referendum Timor Timur -dalam konteks krisis ekonomi yang mana RI membutuhkan bantuan finansial negara-negara donor dan IMF, yang mensyaratkan penyelesaian persoalanTimor Timur- agar presiden yang menggantikannya, tidak perlu pusing dibuatnya.

“Dengan demikian, siapa pun menjadi presiden dan wakil presiden nanti, dapat memberi perhatian penuh kepada…penyelesaian masalah politik, dan masalah ekonomi nasional.”

Kini ketika Habibie wafat menghadap Sang Khalik, para elit dan tokoh lawan politik Habibie yang dulu menjegal langkah Habibie menjadi Capres lagi, yang menilai negatif kebijakan-kebijakan  Habibie, justru kini dengan tinggi memuja-muji Habibie. Bahkan tidak ada elit yang menolak dengan penyematan gelar Bapak Demokrasi kepada Habibie, gelar yang sesungguhnya punya relevansi kuat pada referendun Timor Timur. Sesuatu yang sebenarnya tidak mengherankan karena berjalan dengan waktu banyak pihak yang berbalik menilai positif pemerintahan Habibie.

Entah apakah puja-puji para pembenci Habibie dahulu ini sebagai kesadaran yang terlambat atau hanya sekedar mengikuti emosional mainstream ketika menerima kabar wafatnya Habibie. Padahal prestasi Habibie dalam 17 bulan pemerintahannya telah menyelamatkan ekonomi nasional. Tetap saja Habibie tidak diakui demi agenda politik para elit, yang nyatanya 20 tahun kemudian Indonesia menjadi negara dengan begitu banyak masalah seperti saat ini.