Eramuslim.com – Keputusan Pemerintah kembali memperpanjang izin ekspor konsentrat Freeport hingga 11 Januari 2017 merupakan sebuah pelanggaran hukum. Bahkan perpanjangan izin ekspor untuk Freeport ini dianggap sebagai kado terburuk dari Pemerintahan Jokowi dalam menyambut Hari Ulang Tahun RI ke-71.
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Johansyah Ismail, menjelaskan sesuai pasal 170 UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral, Batubara, pemegang Kontrak Karya (KK) yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian di dalam negeri selambat-labatnya lima tahun sejak UU 4/2009 diberlakukan.
Dengan perpanjangan ini, berarti Freeport sudah lima kali mendapatkan perpanjangan izin ekspor konsentrat. Dengan memberikan izin ekspor pada perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut, Pemerintah telah memfasilitasi pelanggaran hukum dan merendahkan dirinya menjadi “Departemen Produksi dan Pemasaran” bagi Freeport.
“Perpanjangan Izin ekspor menjadi modus untuk meningkatkan produksi dan penjualan demi meningkatkan keuntungan Freeport,” tegas Merah Johansyah Ismail, di Jakarta, Kamis, (11/8).
Dia menjelaskan bahwa pada perpanjangan izin ekspor ke-3, Freeport meningkatkan produksi dan penjualannya menjadi 775.000 ton dari hanya 580.000 ton sebelumnya. Begitu juga saat pemerintah memberikan kembali izin ekspor konsentrat yang ke 4, Freeport kembali memanfaatkan fasilitas perpanjangan izin ini untuk kembali meningkatkan produksi dan penjualannya menjadi 1,03 juta ton.
Kali ini, saat Pemerintah memberikan kembali perpanjangan izin ekspor untuk yang kelima kalinya, mulai 9 Agustus 2016 hingga 11 Januari 2017, Freeport kembali memanfaatkannya untuk untuk meningkatkan produksi hingga 1,4 juta ton.
Melalui fasilitas perpanjangan izin ekspor yang diperoleh sejak 2014, total Freeport telah mengekspor 4,55 juta ton konsentrat atas jasa” kementerian ESDM yang bersama-sama melanggar UU Minerba 4/2009. Dari 4,55 juta ton konsentrat ini, menyumbang keuntungan bagi Freeport yang memproduksi 1.016 juta pon tembaga dan 1.663.000 t oz (Troy Ons) emas dalam kurun waktu dua tahun ini.
“Total uang yang diperoleh Freeport dari dua tahun menikmati fasilitas perpanjangan izin ekspor mencapai USD 256 miliar atau Rp 3.328 triliun. Angka tersebut senilai dua kali APBN Indonesia,” ungkapnya.
Presiden dan Menteri ESDM Melalui PP 1/2014, telah mengundurkan kewajiban pengolahan dan pemurnian dalam Negeri hingga 11 Januari 2017. Ketentuan ini berlaku bagi pemegang KK yang telah melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian di dalam Negeri. “Freeport adalah potret nyata bagaimana sebuah kebijakan Negara bisa dinegosiasikan oleh korporasi,” kata Merah lagi.
Dalam Peraturan Menteri ESDM 11/2014 pasal 13, perpanjangan ekspor diberikan apabila pembangunan Smelter mencapai 60%. Faktanya, hingga April 2016, kemajuan pembangunan smelter Freeport di Gresik hanya 30%, namun perpanjangan izin ekspor Freeport tetap diberikan hingga lima kali.
Sebelumnya, saat berakhirnya perpanjangan izin ekspor yang ketiga (25 Januari 2016), Pemerintah menyatakan tidak akan memperpanjang izin ekspor sebelum Freeport membayar dana jaminan pembangunan smelter sebesar USD 530 juta.
Namun ketentuan ini kembali bisa dinegosiasikan oleh Freeport. Tanpa membayar sepeserpun dana jaminan smelter, Freeport akhirnya mendapatkan perpanjangan izin ekspor. Dengan alasan menyelamatkan Pendapatan Negara, Pemerintah selalu memberi kenyamanan” bagi Freeport untuk terus mengeruk emas Papua.
Pada tahun 2014, Freeport menyetor pajak dan royalty sebesar Rp 5,6 triliun. Di tahun yang sama, Pendapatan Negara dalam APBN sebesar Rp 1.667,1 triliun. Artinya, besaran pajak dan royalti yang disetorkan Freeport tidak sampai 0,4% dari pendapatan Negara.
“Pemerintah dalam hal ini jelas hanya melihat berapa rupiah yang akan masuk dalam kas Negara. Pemerintah telah mengabaikan fakta yang terjadi. Sederet kasus pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan yang selama ini terjadi setengah abad Freeport bercokol di Papua,” pungkasnya.(ts/rmol)