Kebijakan Sri Muylani Mengganggu Pemulihan & Kesejahteraan, 77,37% Publik Tolak Kenaikan PPN

Kebijakan Sri Muylani Mengganggu Pemulihan & Kesejahteraan, 77,37% Publik Tolak Kenaikan PPN

Eramuslim.com – Kebijakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen yang diumumkan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, sebagaimana diatur dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), ditolak mayoritas masyarakat.

Penolakan itu tergambar dalam hasil survei terbaru Centre for Indonesia Strategic Actions (CISA) yang digelar 7-10 Oktober 2021 yang menyasar 800 responden secara proporsional di 34 Provinsi.

Survei yang menggunakan metode simple random sampling ini memiliki Margin of Error (MoE) yang mencapai 3,5 persen, dan tingkat kepercayaan diangka 95 persen.

Direktur Eksekutif CISA, Herry Mendrofa menyatakan, masyarakat merespons rencana Pemerintah yang akan menaikkan secara bertahap pajak menjadi 11 persen mulai 1 April 2022, dan akan naik 1 persen setiap tahunnya hingga 2024.

“Terdapat 77,37 persen publik menolak rencana kenaikan pajak di tahun 2022. Praktis yang setuju hanya 10,13 persen dan 12,5 persen tidak memberikan jawaban atau tidak tahu soal kebijakan Pemerintah tersebut,” ujar Herry dalam keterangan tertulis pada Rabu (13/10).

Herry mengatakan, masyarakat memiliki alasan yang beragam menolak rencana kenaikan PPN ini. Di antaranya didasarkan pada kemungkinan terhambatnya pemulihan ekonomi, kesejahteraan, kemiskinan dan pengangguran meningkat hingga rentan dikorupsi.

“Penolakan ini didasari pada implikasi minor yang akan disebabkan oleh kenaikan pajak,” tuturnya.

Herry merinci, dari hasil surveinya tergambar sebanyak 28,75 persen responden yang menolak kenaikan PPN karena melihat kebijakan tersebut bakal menghambat pemulihan ekonomi.

Selain itu, ada 18,42 persen menganggap menurunkan tingkat kesejahteraan, 16,32 persen melihat adanya potensi meningkatkan angka kemiskinan dan pengangguran,

“Kemudian 13,25 persen rentan dikorupsi, 9,05 persen belum urgensi, dan masih dalam kondisi pandemi Covid 19 sebesar 6,94 persen. Beberapa hal inilah yang memicu ketidaksetujuan publik,” imbuhnya.