Kekerasan Jurnalis, Organisasi Pers Ancam Gugat Jokowi dan Kapolri

Karena itu, kata dia, selain Presiden, DPR juga perlu melakukan evaluasi terhadap kinerja kepolisian termasuk soal anggaran pembelian peralatan yang digunakan untuk melakukan kekerasan.

“Kami mendesak bahwa Indonesia di dalam demokrasi yang berbahaya. Kalau aparat hukumnya menjadi garda yang mempertontonkan kekerasan dan bebas melakukan tindakan sewenang-wenang,” jelas Isnur.

Isnur menambahkan evaluasi tersebut dapat dilihat dengan melihat ada tidaknya pelanggaran prosedur yang dilakukan polisi dalam menjaga aksi. Ia menyarankan polisi memperbaiki standar prosedur jika memang ditemukan kesalahan.

Namun, di sisi lain, polisi yang melakukan tindak pidana seperti kekerasan terhadap jurnalis untuk diproses pidana ke pengadilan.

Sekjen Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Indria Purnama Hadi, mengatakan hasil pendataan yang dilakukan Komite Keselamatan Jurnalis ada 38 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang aksi tolak UU Cipta Kerja pada 7-12 Oktober 2020.

Kekerasan terbanyak terjadi di Jakarta dengan delapan kasus, disusul Surabaya dengan enam kasus, dan Samarinda lima kasus. Sedangkan jenis kekerasan paling banyak berupa intimidasi, perampasan dan perusakan alat atau hasil liputan, serta tujuh jurnalis ditangkap dan ditahan.

“IJTI mengutuk dan mengecam kekerasan oleh polisi dan meminta Kapolri menindaklanjuti dengan menindak anggotanya secara tegas sesuai ketentuan yang berlaku,” jelas Indria Purnama Hadi.

Indria memperkirakan jumlah kekerasan yang dialami jurnalis saat meliput aksi tolak UU Cipta Kerja lebih dari jumlah yang dicatat Komite Keselamatan Jurnalis. Padahal kata dia, jurnalis dalam bekerja dilindungi Undang-undang Pers dan sudah ada MoU antara Dewan Pers dengan Kapolri. (*)