Ketum Baznas: Potensi Zakat di Indonesia Sangat Besar

Ketua Umum Baznas Prof Didin Hafidhuddin menyatakan, potensi zakat di Indonesia sangatlah besar. Untuk potensi individu saja, berdasarkan riset yang dilakukan UIN dua tahun lalu, mencapai 19, 3 triliun rupiah. Namun, hasil tersebut belum potensi perusahaan yang jauh lebih besar.
Ia mengungkapkan, pada periode 2005-2006, Baznas dengan berkoordinasi dengan berbagai lembaga amil zakat lainnya dapat mengumpulkan zakat sebesar 340 miliar rupiah. Periode berikutnya, 2006-2007, angka tersebut meningkat sangat signifikan, mencapai 850 miliar rupiah.

"Mudah-mudah ada kenaikan terus, apakah ini akan disalurkan melalui Baznas atau lembaga yang lain tidak menjadi masalah, asalkan diatur oleh lembaga amil zakat yang profesional yang bisa dipercaya dengan program-program yang jelas. Kita harapkan tahun depan bisa di atas 1, 5 trilyun rupiah., " ujar Didin.

Lebih lanjut Didin mengatakan, keberadaan lembaga keuangan syariah seperti perbankan dan asuransi syariah, membantu peningkatan kesadaran umat untuk berzakat, sehingga dapat meningkatkan pemasukan zakat pertahunnya.

"Alhamdulillah sekarang sudah ada lembaga syariah seperti Bank Syariah, Asuransi syariah, mereka sudah mulai berzakat secara perusahaan, jadi karyawan setiap bulan berzakat, kemudian perusahaan setiap setahun sekali, muanya kita begitu, " jelasnya.

Sementara itu, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama Prof Nasaruddin Umar mengatakan, peran zakat sangat besar bagi penyelesaian masalah bangsa dan masyarakat. Zakat dapat berperan mengatasi persoalan paling besar bangsa ini, yaitu kemiskinan.

"Hasilnya sangat luar biasa, kalau semua orang berzakat seperti bagaimana seharusnya, itu mungkin separoh kemiskinan bisa teratasi, cuma sekarang profesionalisme zakat sedang ditingkatkan dengan adanya UU nya, " katanya Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta itu.

Dirinya optimis, dua institusi besar, yakni Baznas dan Badan Wakaf Indonesia nantinya bisa menggerakkan roda perekonomian mikro masyarakat Indonesia. Untuk mewujudkan itu, Ia mengingatkan bahwa membayar zakat hukumnya wajib bagi tiap individu atau fardlu ‘ain.

Mengenai kritik tentang birokratisasi zakat, Nasaruddin menyatakan, tak selamanya birokrasi berkonotasi negatif. "Birokrasi itu kan untuk mengatur. Kalau tak diatur, malah berbahaya. Zakat harus diatur. Kalau tidak, tak profesional. Yang salah, kalau birokrasinya sangat panjang dan melelahkan, bahkan sampai menghambur-hamburkan dana. Bukan itu yang kita inginkan, " jelasnya.(novel)