Kiper Arema FC Trauma Kanjuruhan Disaster, Lihat Langsung 2 Polisi Diinjak-injak sampai Mati

eramuslim.com – Kanjuruhan Disaster alias tragedi Kanjuruhan Malang membuat kiper Arema FC Adilson Maringa trauma. Ia tak menyangka, kekalahan 2-3 dari Persebaya itu disusul dengan hilangnya 127 nyawa di Stadion Kanjuruhan.

Kepada Globo, Maringa menceritakan semua detil peristiwa di malam hitam itu. Ia menyebut, laga derbi itu berjalan normal selama 90 menit di lapangan.

Demikian juga sesaat setelah wasit meniup peluit panjang dimana para pemain dan official berkumpul di tengah lapangan untuk memberikan salam.

Namun tak lama setelah itu, ia melihat seorang suporter Arema merangsek masuk ke lapang disusul puluhan suporter lainnya, dan semakin banyak. Saat itulah polisi meminta pemain dan official tim meninggalkan lapangan menuju kamar ganti.

“Kami berjalan normal saja. Namun invasi makin membesar, dan polisi sulit untuk menahannya,” cerita Maringa.

Dalam video beredar, Maringa jadi pemain terakhir yang masuk ke ruang ganti pemain.

“Ketika saya sedang jalan, sekitar delapan orang datang dan memegang saya. Saya sulit keluar dari kerumunan, dan saya mulai ketakutan,” tuturnya.

Ia akhirnya bisa meninggalkan lapangan. Tapi Maringa tak menyangka banyak suporter Arema yang terus merangsek sampai ke ruang ganti pemain. Pemain 32 tahun asal Brasil itu melihat polisi berupaya menghalau massa masuk ke ruang ganti pemain.

“Setelah kami masuk, kebiadaban mulai terjadi,” ungkapnya.

Ia menyebut, polisi saat itu sudah berusaha menahan massa tak gagal lantaran jumlah massa yang jauh lebih banyak.

“Mereka lalu menginjak dua orang polisi, yang akhirnya meninggal dunia. Kemudian terdengar suara letupan, kebiadaban lainnya pun terjadi,” beber Maringa.

Bersama pemain dan official Arema FC lainnya, Maringa terkurung di dalam ruang ganti selama 5-6 jam lamanya. Mereka juga tidak mengetahui apa yang terjadi di luar.

“Hanya terdengar teriakan dan suara letupan. Kami ketakutan, karena merasa nyawa kami terancam.”

“Kami hanya bisa berpikir: ‘Mereka akan masuk ke sini (kamar ganti), dan membunuh semua orang yang ada di dalamnya,” tuturnya.

“Tiba-tiba beberapa orang membawa korban yang sudah sekarat karena menghirup asap gas air mata. Mereka meninggal di dalam ruang ganti.

“Ketika saya melihat itu, saya putus asa. Saya berkata: ‘Ya Tuhan, saya akan kehilangan nyawa saya dalam sekejap dari permainan sepakbola,” ceritanya.

Pemain dan official Arema FC pun baru bisa meninggalkan stadion Kajuruhan pada Minggu 2 Oktober 2022 sekitar pukul 04.00 WIB. Saat itulah, ia baru bisa melihat tragedi yang terjadi di dalam dan luar lapangan.

“Saya tidak pernah melihat hal seperti ini, orang-orang terbunuh seperti binatang,” ujarnya.

Atas kejadian itu, Maringa mengaku trauma dan sulit melupakan apa yang ia lihat dan alami itu. Dia pun hanya bisa menunggu keputusan dari FIFA soal Kanjuruhan Disaster itu. Arema FC juga sudah dijatuhi hukuman dilarang menggelar pertandingan di kandang sendiri.

“Kami sudah tidak ada gairah lagi untuk bermain sepakbola. Kami merasa takut. FIFA harus mengambil tindakan.”

“Kami masih menunggu komentar FIFA tentang Arema, liga, dan semuanya,” imbuh Maringa.

“Satu hal yang pasti, tidak ada laga pertandingan tim di kota ini (Malang). Ini sudah diputuskan oleh pemerintah. Sekarang kami menunggu FIFA,” pungkasnya. [Pojoksatu]