KKN: Antara Pengabdian atau Paksaan? Saat Mahasiswa Bertanya, ‘Apa Gunanya?

Mahasiswa mengenakan toga saat upacara wisuda.

Eramuslim.com – Kuliah Kerja Nyata (KKN) adalah bentuk nyata pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi—pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Program ini biasanya dijalankan mahasiswa tingkat akhir, setelah Praktik Kerja Lapang (PKL) dan sebelum mengerjakan skripsi. Tapi, di balik semangat pengabdian, muncul pertanyaan yang tak kalah besar: apakah KKN benar-benar bermakna, atau sekadar kewajiban yang membebani?

Apakah KKN Wajib?

Berdasarkan Pedoman KKN Kebangsaan 2023 dari Kemendikbud Ristek, KKN wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa program sarjana dari semua program studi. Kegiatan ini diberikan bobot SKS dan sering dijalankan sebagai mata kuliah wajib di banyak kampus. Beberapa kampus besar seperti UGM bahkan menyusun KKN sebagai kombinasi 8 SKS, mencakup pengabdian, komunikasi masyarakat, dan penerapan teknologi.

Untuk program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), KKN bahkan bisa mencapai bobot 20 SKS dengan masa pelaksanaan empat bulan.

Program pengabdian ini sudah dimulai sejak 1971 sebagai proyek perintis oleh Unand, UGM, dan Unhas. Tahun 1973, program ini diadopsi lebih luas oleh 13 perguruan tinggi lain. Awalnya hanya menekankan pengajaran dan pengabdian masyarakat, namun kini juga mencakup penelitian.

Manfaat Ideal KKN

Dalam konsepnya, KKN dirancang untuk:

  1. Meningkatkan kepedulian sosial mahasiswa.

  2. Menerapkan ilmu di masyarakat secara nyata.

  3. Melatih kemandirian di daerah minim fasilitas.

  4. Menumbuhkan kreativitas masyarakat lokal.

  5. Mendorong hidup sehat di kalangan warga.

  6. Membantu pertumbuhan ekonomi melalui inovasi dan edukasi.

Realita Lapangan: Pengabdian atau Beban?

Namun, tak semua mahasiswa merasakan makna dari KKN. Nicholas Abby, mahasiswa UGM, memilih mundur dari KKN di Kalimantan Selatan karena biayanya sangat tinggi—sekitar Rp160 juta untuk kelompoknya. Ia merasa KKN ke luar Jawa seperti “misi penyelamatan” yang kurang relevan.

“Saya tidak ingin berlagak seperti pahlawan yang datang menolong warga desa. Mereka punya caranya sendiri untuk bertahan hidup,” ucapnya.

Ia pun memilih ikut KKN di sekitar Yogyakarta saja, dengan program sederhana seperti pojok baca. Baginya, pengabdian yang dilakukan dengan terpaksa justru kehilangan makna.

Mahasiswa lain, seperti Humaidah dari Universitas Padjadjaran, masih percaya pada manfaat KKN. Bersama timnya, ia akan mengedukasi literasi digital di Desa Citengah, Sumedang. Meski waktu yang diberikan hanya sebulan, ia berharap program mereka bisa berbekas di masyarakat.

Kritik Tajam dari Pengamat

Ubaid Matraji, pengamat pendidikan dari JPPI, menyebut pelaksanaan KKN saat ini sering melenceng dari tujuan mulia. Ia menyebut KKN modern lebih mirip formalitas atau pelesiran.

“Sebulan dua bulan di desa, omong kosong bisa melakukan perubahan berarti. Perlu waktu minimal satu tahun dan riset mendalam jika ingin benar-benar membawa dampak,” tegasnya.

Ia menekankan bahwa kampus seharusnya menjadi agen perubahan sosial yang aktif, bukan hanya menjadikan KKN sebagai syarat kelulusan.

Hambatan Nyata

KKN juga menghadapi banyak tantangan:

  • Biaya tinggi yang harus ditanggung mahasiswa.

  • Lokasi terpencil dan akses yang sulit.

  • Kendala bahasa dan budaya lokal.

  • Perbedaan ekspektasi antara mahasiswa dan masyarakat.

  • Kurangnya keberlanjutan program setelah mahasiswa pergi.

  • Tidak ada protokol mitigasi risiko standar nasional.

  • Kampus menyerahkan tanggung jawab keselamatan pada mahasiswa dan kelompoknya sendiri.

  • Wilayah 3T sering jadi sasaran KKN, tapi minim infrastruktur dasar.

Sebagian besar kampus masih menjadikan KKN sebagai kewajiban formal, bukan program berbasis kebutuhan nyata masyarakat.
Hal ini membuat KKN terasa lebih sebagai “ritual kelulusan” ketimbang program pembelajaran bermakna. Kutipan ini menggambarkan dengan jelas ketidakrelevanannya:

“Mayoritas mahasiswa memandang KKN sebagai sebuah kewajiban semata atau pelesiran. Sebab, waktu yang diberikan terlalu singkat.”Ubaid Matraji, JPPI

Apa yang Bisa Dilakukan Pemerintah?

Solusi yang dapat diambil pemerintah untuk menjadikan KKN lebih aman, relevan, dan berdampak:

1. Revisi Kurikulum KKN secara Nasional

  • Wajibkan pra-KKN berbasis riset partisipatif untuk memahami kebutuhan lokal.

  • Dorong KKN tematik lintas fakultas, misalnya energi, pendidikan, kesehatan.

  • Panjang waktu KKN bisa disesuaikan (minimal 4–6 bulan untuk yang berbasis proyek nyata).

2. Buat Standar Nasional Kesehatan dan Keamanan KKN

  • Kampus wajib menyiapkan protokol keselamatan, transportasi, dan evakuasi.

  • Pemerintah pusat bisa mewajibkan BPJS Ketenagakerjaan bagi peserta KKN sebagai perlindungan dasar.

3. Sediakan Dana Bantuan Pemerintah untuk KKN

  • Mahasiswa tidak lagi dibebani biaya transportasi dan logistik tinggi.

  • Dana KKN dari pemerintah bisa berbasis proposal program dari kampus dan mahasiswa.

4. Kembangkan KKN Digital dan Hybrid

  • Tidak semua KKN harus ke desa-desa fisik.

  • Bisa diganti dengan KKN digital (misalnya membantu UMKM lokal secara daring) terutama untuk program studi yang lebih teoretis.

5. Evaluasi Dampak Jangka Panjang

  • Setiap program KKN wajib membuat laporan dampak berkelanjutan, termasuk feedback dari masyarakat.

  • Pemerintah bisa memberi insentif kampus yang mampu menciptakan program pengabdian dengan hasil nyata.

KKN pernah menjadi kebanggaan bangsa—dimulai dari semangat mengisi kekosongan guru di luar Jawa tahun 1951. Namun kini, di tengah krisis makna dan tantangan logistik, mahasiswa mulai bertanya: “Masihkah ini pengabdian? Atau sekadar formalitas yang memberatkan?”

Jika pengabdian dilakukan dengan terpaksa dan tidak berbekas, bukankah sudah saatnya kita meninjau ulang cara kita mengabdi?

Sumber: BBC, Tempo.co, dan Unisbank

Beri Komentar