Kontras: RUU Intelijen Harus Ditolak

Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat mewanti-wanti DPR dan masyarakat tentang bahaya RUU Intelijen dan Keamanan Nasional yang akan disahkan pada tanggal 15 Juli mendatang. “RUU Intelijen dan Keamanan Nasional harus ditolak!” ucap Usman Hamid yang mewakili Kontras.

Penegasan tersebut disampaikan Usman Hamid dan beberapa tokoh LSM lainnya dalam acara diskusi tentang RUU Intelijen dan Keamanan Nasional yang digelar Rumah Perubahan di Jakarta, Selasa (12/7).

Hadir sebagai narasumber Taslim Chaniago (F-PAN DPR RI), Usman Hamid (KONTRAS), Hendardi (Setara) dan Lily Wahid (F-PKB DPR RI).

"RUU ini sebentar lagi akan disahkan, namun masih ada pasal-pasal yang mengganjal, seperti kewenangan intelijen yang berlebihan bisa menangkap siapa saja yang dicurigai," tutur Taslim Chaniago, anggota dewan Fraksi PAN DPR RI.

Banyak hal yang dikritisi oleh para nara sumber tentang RUU ini. "RUU Intelijen adalah RUU yang keras kepala, karena RUU Intelijen yang ada di DPR sekarang ini; penyadapan tidak perlu izin pengadilan," tegas Usman Hamid.

"Parahnya, RUU Keamanan Nasional lebih berbahaya dari RUU Intelijen. Ini harus ditolak," imbuh Usman.

Hendardi juga menambahkan,"Kalau kita baca RUU Intelijen dan RUU Keamanan Nasional, hidup ini terasa diancam terus!"

Menurut Hendardi, definisi intelien yang disebutkan sebagai lembaga pemerintah di draft RUU tersebut, berpotensi penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah. "Mestinya, intelijen ditetapkan sebagai lembaga negara, bukan lembaga pemerintah. Jika lembaga negara, kepatuhan intelijen bukan pada penguasa, tapi pada kebutuhan nasional," ucapnya.

Namun, jika intelijen didefinisikan sebagai lembaga negara, aparatur intelijen dapat menolak perintah pemerintah jika dianggap melenceng dari tujuan nasional negara.
Kelemahan lainnya, lanjut Hendardi, akuntabilitas dan pengawasan terhadap kinerja intelijen yang sangat minim. Diperlukan lembaga independen dari luar untuk mengawasi badan intelijen.

"Pengawasan eksternal harus dilakukan, bisa oleh parlemen, pengadilan, satu badan pengawas eksternal," tambah Direktur Setara Institut ini. Mnh/Mzs