KontraS Sumut: 5 Fakta Cacat Hukumnya Penangkapan Mahasiswa Saat Demo Tolak Omnibus Law

Keempat, Surat Perintah Penangkapan MHB diberikan kepada keluarganya pada tanggal 22 Oktober yaitu Surat Perintah Penangkapan Nomor: SP/888/X/RES.1.10/2020/Reskrim tertanggal 21 Oktober 2020.

Kelima, MHB membantah ikut melakukan pengrusakan, justru menurutnya kehadirannya melarang kawan-kawannya agar tidak melakukan pengrusakan.

“Dari fakta-fakta diatas, kami menilai penangkapan yang dilakukan terhadap MHB sesungguhnya cacat hukum mengingat Surat Penangkapan seharusnya diberikan pada MHB pada saat penangkapan dilakukan,” ungkap Ali.

Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan “Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa”.

Ali membeberkan, penangkapan tanpa surat penangkapan boleh saja dilakukan kepolisian berdasarkan Pasal 18 ayat(2) KUHAP hanya apabila tersangka tertangkap tangan.

“Sementara dalam kasus MHB dia tidak dalam tertangkap tangan. Jika dihitung, penangkapan dilakukan 14 hari sesudah kejadian. Dengan waktu yang begitu panjang harusnya polisi sudah mengantongi Surat Tugas dan Surat Penangkapan yang dapat ditunjukkan. Oleh karena penangkapan MHB tersebut cacat hukum, sebaiknya kepolisian segera membebaskannya,” tegasnya.

Ali menambahkan, akibat dari penangkapan MHB tersebut, aksi damai yang dilakukan AKBAR Sumut menjadi terciderai dan dinilai anarkis serta dicap buruk oleh masyarakat umum. “Padahal kericuhan itu akibat kepolisian yang tidak profesional pada saat menjalankan tugasnya. Kami menduga kepolisian sengaja menangkap MHB ditengah aksi damai berlangsung untuk merusak citra gerakan rakyat yang sedang memperjuangkan haknya,” pungkasnya.[psid]