Korupsi: Extra Ordinary, Ordinary atau Orderan

Eramuslim.com -Kisruh KPK disebabkan oleh intervensi dan keinginan elit tertentu untuk merevisi atau mengubah “gender” KPK. Elemen masyarakat baik ormas, perguruan tinggi, maupun mahasiswa mereaksi untuk mencegah perubahan itu. Sementara DPR sebagai pengaju “bulat” setuju pada revisi. Bola di tangan Pemerintah dan diduga satu paket dengan DPR maka Presiden setuju dengan revisi. Melihat konten revisi banyak pihak menilai ini adalah langkah Pemerintah dan DPR untuk “membunuh” KPK.

Korupsi sendiri diatur sebagai tindak pidana khusus. Lembaga KPK diberi kewenangan untuk menyidik dan menuntut sebab korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime). Pola dan besaran tidak sama dengan delik penggelapan, pencurian ataupun perampokan. Korupsi melekat dengan kolusi dan jabatan jabatan. Uang rakyat atau negara hilang dan “digasak habis”. Sebagai kejahatan “extra ordinary” korupsi sama dengan kejahatan berbahaya lain seperti genosida atau terorisme. Karenanya di samping lembaga memiliki prosedur khusus juga jaminan independensi pengusutan. Banyak pejabat tingkat pusat maupun daerah terciduk kasus “extra ordinary” korupsi oleh KPK tersebut.

RUU Revisi UU KPK direaksi keras publik karena substansinya memereteli kewenangan dan independensi KPK. Bahkan penyidikan dan penuntutan pun mesti kembali ke proses biasa yang dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Belum lagi persoalan SP3 dan Dewan Pengawas yang bisa masuk ke aspek teknis. Pengubahan “gender” seperti ini menyebakan korupsi menjadi kejahatan biasa (ordinary crime). Pelemahan aturan perundang undangan membuat KPK tidak memiliki kewenangan independen yang efektif.