Madu Saffron dari Tersangka Teroris untuk Densus 88

BEGITU selesai salat Subuh, Yunasdi bergegas keluar dan berdiri menunggu di halaman parkir Masjid Istiqomah, Selasa 16 November, belum genap pukul 05.00 WIB.Sekretaris Jenderal Partai Dakwah Rakyat Indonesia itu tak sendirian, dia ditemani tiga kawan sepuak.Dia sebenarnya bukan warga kompleks Perumahan Bulog I, tak juga berumah di Bekasi. Kediamannya jauh, di kawasan Palmerah, Jakarta Barat.

Tapi, karena sudah kadung mengikat janji dengan Ketua Umum PDRI Farid Okbah untuk salat Subuh berjemaah dan bertemu di masjid itu, ia datang untuk menyempurnakannya.

Bakda salat, menurut perjanjian, mereka akan langsung melaju memakai mobil untuk bersafari politik. Cirebon adalah kota pertama yang akan mereka sambangi. Setelahnya barulah ke Yogyakarta, kemudian lanjut ke Solo.

Yunasdi dan Farid memunyai cita-cita yang sama, ingin PDRI bisa lolos verifikasi Komisi Pemilihan Umum sebagai peserta kontestasi politik 2024.

Harapannya, PDRI menjadi wakil partai Islam ideologis, mengoreksi partai-partai sehaluan yang menurut mereka telah tergerus politik transaksional.

Agar bisa seperti itu, bukan pekerjaan mudah. Mereka wajib membangun kantor perwakilan daerah di 34 provinsi, 517 kota, dan minimal 3.600 kantor cabang bawah dalam waktu dua tahun ke depan. Rencana lawatan kali ini juga untuk mengupayakan mimpi tersebut.

Namun, sudah lebih dari tigapuluh menit menunggu, Yunasdi mulai gelisah karena orang yang dinanti-nantinya tak kunjung datang menghampiri.

Yunasdi memutuskan membawa rombongannya ke rumah Farid Okbah. Memakai mobil Toyota Inova Venturer putih, mereka sampai di depan rumah sang ketua pukul 05.30 WIB.

Supaya cepat berangkat, Yunasdi tetap berada di dalam mobil sembari menelepon Ibrahim, putra Farid Okbah.

“Kok Ustaz Farid ditelepon enggak bisa-bisa Im? Coba dong dicekin di rumah. Mungkin ketiduran.”

“Abi sudah pulang Mi?” Ibrahim bertanya ke Ibunya.

“Belum, masih di masjid.”

Ibrahim keluar rumah menemui Yunasdi.

“Masih di masjid Pak Sekjen.”

“Ah yang bener? Perasaan tadi sudah keluar dari masjid.”

“Ini buktinya, di rumah enggak ada, Pak Sekjen. Coba aja Pak Sekjen lihat lagi ke masjid.”

Yunasdi dan rombongan kembali ke masjid, tapi di sana sudah sepi, tak ada Farid. Dia kembali menghubungi Ibrahim via telepon.

“Ustaz Farid enggak ada di masjid Im.”

Ibrahim kaget sekaligus kebingungan. Begitu pula Umi Jamilah, yang sedari tadi berada di sampingnya, menguping.

“Umi, ini pasti ada yang aneh nih.”