Madu Saffron dari Tersangka Teroris untuk Densus 88

Hilang Kontak di AfganistanAWAL tahun 1990, Dee Why sudah menjadi wilayah pinggiran kota terpadat di pantai utara Sidney, Australia.Daerah itu dikenal sebagai rumah bagi gereja-gereja dari banyak denominasi. Di sanalah kaki Farid Okbah melangkah dari Bekasi, untuk mencari pekerjaan.

Berbekal dua ijazah dari Akademi Bahasa Asing dan keterampilan teknis, Farid diterima menjadi pekerja di pabrik kabel.

Meski sudah terikat pernikahan, Jamilah tetap berada di Indonesia, tak ikut serta. Komunikasi mereka tak terputus. Saban akhir pekan, entah Sabtu atau Minggu, Farid selalu menelepon Jamilah.

Namun, setelah satu setengah tahun merantau, Farid mengungkapkan keinginannya untuk kembali kepada Jamilah via telepon.

“Abi mau pulang saja.”

“Kenapa?”

“Tidak nyaman saja di sini. Tapi sebelumnya, mau umrah dulu.”

Jamilah mengiyakan keinginan Farid, meskipun ia tahu, sang suami sebenarnya tak hanya bekerja mencari uang di sana.

Selama di Australia, sepulang bekerja, Farid biasanya tetap melancarkan dakwah Islam kepada warga setempat.

Farid juga terlibat proyek alih fungsi lahan bekas gereja menjadi Islamic Center. Di lahan itu pula didirikan masjid, dan Farid didaulat menjadi imam.

Akhir 1991, Farid akhirnya benar-benar angkat kaki dari Australia. Namun, rencananya untuk umrah kemudian sedikit tertunda.

“Abi pengin mampir ke Afganistan dulu mi, sebelum umrah.”

“Mau ngapain Abi di sana?”

“Ya mau lihat-lihat aja, pengin tahu situasi Afganistan itu seperti apa.”

Maka, berangkatlah Farid ke Afganistan. Sejak itu pula Jamilah kehilangan kontak dengan sang suami.

Jamilah baru kembali memberikan kabar melalui telepon, empat bulan kemudian. Itu juga Farid menelepon dari Mekkah, Arab Saudi.

Dia mengabarkan akan menunaikan umrah lebih dulu, lalu pulang ke Indonesia seperti janjinya.

“Kenapa Abi hilang kontak? Tak ada kabar?”

“Abi di Afganistan susah, telepon tidak ada.”

“Kan bisa kirim surat.”

“Kantor pos juga tidak ada.”

Sekembalinya ke Indonesia, Farid Okbah melakoni sejumlah pekerjaan sembari menjadi penceramah. Dia baru kembali keluar negeri awal abad milenium.

Tahun 2000, Farid diundang kembali ke Australia untuk memberikan ceramah di masjid yang dulu ia bantu upayakan pembangunannya.

Selang setahun, menara kembar World Trade Center, New York, Amerika Serikat, ambruk ditabrak pesawat komersial yang dibajak teroris Al Qaeda. Sedikitnya 2.500 orang tewas, perburuan terhadap teroris pun dimulai, termasuk anggota Jamaah Islamiyah—afiliasi Al Qaeda—di Indonesia.

Nama Farid Okbah masuk dalam daftar 100 nama yang akan ditangkap, karena dianggap terlibat jaringan Jamaah Islamiyah dan terkait aksi teror 11/9 WTC.

Tak lama, aparat kepolisian mendatangi rumah ketua rukun tetangga kediaman Farid di Bulak Tinggi, Pondok Melati, Bekasi.

“Saya yakin Pak Farid ini bukan teroris, orangnya baik,” kata ketua RT.

Pernah pula Farid dan Jamilah menerima kedatangan aparat kepolisian di rumah. Dari gelagat tetamu, Farid dan Jamilah menduga akan ada penangkapan.

Namun, penangkapan yang mereka khawatirkan tak terjadi, setelah Farid memamerkan plakat bergambar tiga bintang terbitan Mabes Polri.

“Ini saya alhamdulillah diberi kenang-kenangan plakat Indera Waspada Negara Rahardja dari Badan Intelijen Keamanan Polri, sehabis tausiah di sana.”

Tak lama, tetamu itu pamit pulang.

Plakat Indera Waspada Negara Rahardja dari Badan Intelijen Keamanan Polri yang diberikan kepada Farid Okbah. [Suara.com/Muhammad Yasir]
Plakat Indera Waspada Negara Rahardja dari Badan Intelijen Keamanan Polri yang diberikan kepada Farid Okbah. [Suara.com/Muhammad Yasir]

Setelah perburuan terhadap orang-orang yang dianggap terlibat Jamaah Islamiyah mereda, Farid kembali banyak menerima undangan melawat.

Tahun 2015, ia mengikuti pertemuan ulama dunia di Mesir. Dari sana, ia masuk ke Yordania memakai kapal pesiar dan masuk ke Israel.

Terakhir, 2020, Farid melawat ke Rusia dan dilanjutkan ke Uzbekistan, sebelum akhirnya pulang ke Indonesia dan mendapat tawaran menjadi Ketua Umum PDRI.