Madu Saffron dari Tersangka Teroris untuk Densus 88

Nasionalisme, Islamisme, MarxismePUKUL 06.00 WIB, Selasa 16 November 2021, sekelompok orang turun dari mobil Daihatsu Grand Max di depan rumah Farid Okbah.“Kami dari Densus 88 mau menggeledah.”

Mereka menunjukkan surat izin penggeledahan. Surat itu disorongkan ke Jamilah.

“Ini suratnya. Kita diutus negara.”

Jamilah terburu-buru memanggil menantunya, Samih. Dia juga menghubungi Ismar Syarifuddin, kuasa hukum Farid Okbah via telepon.

Samih segera bergabung dengan Jamilah, Ibrahim, dan Yunasdi yang lebih dulu menghadapi Densus 88 di beranda.

“Kalau mau masuk silakan. Tapi tas dibuka di luar,” kata Samih.

Menantu Farid khawatir, bila tas tak lebih dulu dibuka, bisa-bisa ada barang terlarang yang sengaja diletakkan di dalam rumah.

“Baik,” jawab anggota densus.

Samih lantas meminta surat penggeledahan densus dari tangan Jamilah. Dia membaca daftar nama densus yang hari itu dikerahkan untuk melakukan penangkapan sekaligus penggeledahan. Jumlahnya 50 orang.

“Iptu Nova mana?” tanya Samih membaca daftar nama dalam surat izin penggeledahan.

“Saya!”

“Ipda Syahrun mana?”

“Saya!”

“Mana ketua kelompoknya?”

“Ketua kelompok lagi ada penangkapan di tempat lain.”

Pada waktu yang bersamaan, Densus 88 juga melakukan penangkapan terhadap dua terduga teroris jaringan Jamaah Islamiyyah: Ahmad Zain An-Najah dan Anung.

Tiga anggota densus masuk ke dalam rumah Farid Okbah. Sisanya berjaga di depan pintu. Mereka menunggu bersama Yunasdi dan rombongan PDRI. Hanya pihak keluarga yang diperkenankan berada di dalam rumah.

“Mulai dari kamar sini aja,” pinta Ibrahim ke anggota densus, sembari menunjuk kamar depan.

“Enggak usah langsung sini aja,” jawab anggota densus, menunjuk ruang tamu.

“Mana ATM Ustaz Farid, Bank Muamalat sama Bank Syariah Mandiri?”

Anggota densus kemudian menelepon Farid Okbah, setelah terhubung, ponsel diserahkan kepada Jamilah.

“Sudah,kasih saja BSM (Bank Syariah Mandiri) sama bukunya” kata Farid Okbah ke Jamilah.

“Yang Muamalat mana?” tanya densus.

“Enggak ada. Geledah aja sendiri nih di kamar,” jawab Jamilah.

Densus menuju kamar. Namun tiba-tiba dibatalkan. Ternyata ATM Bank Muamalat yang dicari sudah disita dari tangan Farid.

Anggota densus yang lain masih sibuk menggeledah area ruang tamu. Ibrahim merekam aktivitas mereka memakai kamera telepon genggam.

“Mas, mas minta izin dulu enggak ke saya?” tegur densus ke Ibrahim.

“Kenapa?”

“Mas minta izin dulu enggak ke saya?”

Lho ini kan rumah saya!”

“Iya walaupun ini rumah mas, saya di sini melaksanakan tugas.”

Ismar, kuasa hukum Farid Okbah tiba saat Densus 88 masih sibuk menggeledah. Total ada 11 buku yang di sita.

Beberapa buku itu ialah Muhammadyah Itu NU!; Politik Islam Hindia Belanda; Mempersiapkan Kekuatan Umat Islam; Utang Republik Pada Islam; Nasionalisme Islamisme Marxisme; dan, Demokrasi di Bawah Hukum.

Sejumlah buku dan peta yang disita Densus 88 Antiteror Polri dari rumah Farid Okbah. [dokumentasi]
Sejumlah buku dan peta yang disita Densus 88 Antiteror Polri dari rumah Farid Okbah. [dokumentasi]

Selain buku, densus turut menyita peta Perumahan Bukit Swiss.

“Lho, kok peta perumahan disita juga?” tanya Jamilah.

“Alquran aja bisa dijadikan bukti,” kata Ismar, menceletuk.

“Saya juga muslim,” sanggah satu anggota densus, marah.

“Iya muslim yang zalim,” jawab Jamilah.

Di depan rumah, Yunasdi dan rombongan PDRI masih menunggu. Salah satu anggota densus sempat berbincang dengan rombongan Yusnadi.

“Saya juga bingung sebenarnya kenapa disuruh nangkap Ustaz Farid,” kata salah satu anggota densus.

“Maksudnya?”

“Kami tahu Ustaz Farid bisa masuk pemerintahan, masuk istana, bertemu orang-orang hebat. Saya juga bingung. Tapi namanya tugas, jadi mau enggak mau, disuruh, harus nangkap.”