Mahasiswa Kian Muak Dengan Situasi Bangsa

Kalangan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia menyatakan kerisauan atas situasi bangsa yang morat-marit dan kacau-balau dengan rusaknya tatanan bernegara dan berpolitik. Elite politik telah mengabaikan tuntutan dan masalah riil rakyat. Mereka justru memilih pragmatisme dan uang. Situasi Indonesia yang demikian dinilai kalangan mahasiswa sangat berbahaya dan mempertaruhkan nasib negara.

Maman Abdurrokhman, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia, dan Aditya Prana, mantan Ketua BEM Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, secara terpisah di Jakarta, Rabu (6/7), menyatakan, kepemimpinan nasional yang lemah telah mendorong bangsa Indonesia kian terjebak dalam tumpukan berbagai masalah tanpa penyelesaian jelas.

”Untuk mengubah keadaan jadi lebih baik, kita perlu melanjutkan semangat Reformasi 1998 yang belum tuntas untuk memunculkan figur-figur pemimpin alternatif,” kata Maman.

”Elite politik hanya memikirkan kepentingan sendiri dan kelompok. Aspirasi rakyat justru terabaikan,” ujar Aditya.

Maman menggambarkan masyarakat telah jenuh dengan berbagai masalah yang berdatangan, tetapi tanpa penyelesaian tuntas. ”Rakyat sudah kehilangan kepercayaan kepada pemerintah,” kata Maman.

Menurut Aditya, negara ini bergerak tanpa arah, tanpa pemimpin, dan tanpa dorongan maju di hampir semua sektor kehidupan. Akibatnya, rakyat menjadi korban karena tak ada kebijakan yang benar-benar memihak dan mendorong kemakmuran. ”Presiden Yudhoyono punya konsep bagus dalam pidato, tetapi tak sungguh-sungguh dilaksanakan,” kata Aditya.

Aditya dan Maman mengusulkan, Presiden selaku pelaksana mandat rakyat harus berani mengganti menteri-menterinya yang buruk. ”Presiden sendiri harus lebih banyak bekerja ketimbang berpidato,” kata Aditya.

Oligarki

Dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Luthfi Hamzah Husin, Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa UGM, melihat oligarki dan peran sentral figur partai telah merusak budaya politik di Indonesia. ”Parpol dikuasai segelintir orang yang berkuasa dan bermodal. Ideologinya jangan diharap. Mengaku berideologi Pancasila, tetapi kelakuannya anti-Pancasila. Mengaku berideologi Islam, tetapi kelakuannya anti-Islam,” ucap Luthfi.

Dampaknya adalah lemahnya penegakan hukum dan perekonomian nasional yang menghamba kepada kepentingan ekonomi internasional.

Akumulasi berbagai persoalan genting bangsa yang buntu itu telah membuat frustrasi sosial masyarakat serta memunculkan gerakan radikal sebagai jawaban ketidakpuasan akan situasi negara yang secara politis hancur, tak berdaya dalam penegakan hukum, dan lemah secara ekonomi. Karena itu, tanpa pemerintahan dan kepemimpinan nasional yang kuat serta reformasi politik, negara ini akan berujung pada jurang kegagalan.

Potret buruk

Indra Permana, Presiden BEM Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, dan Syailendra Persada, Menteri Sosial Politik BEM Undip, melihat banyaknya persoalan gawat tetapi tidak diselesaikan secara tuntas merupakan potret pemerintahan yang buruk.

Selain tidak peka dan tanggap dengan kondisi yang terjadi di tengah masyarakat, kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono dinilai lebih banyak mengurus kelanggengan kekuasaan partai ketimbang urusan pemerintahan dan rakyat. ”Masyarakat mencatat, lebih banyak polemik daripada prestasi,” kata Indra.

Dalam penegakan hukum, BEM Undip menilai terjadi politisasi hukum dan penegakan hukum berlangsung secara tebang pilih. ”Ibarat pisau yang hanya tajam ke bawah saja, tetapi yang ke atas tidak. Yang diseret ke pengadilan hanya orang-orang kecil,” ujar Indra.

Koordinator Forum Silaturahmi Lembaga Kemahasiswaan Universitas Hasanuddin (Unhas) Muhammad Furqan Amansyah dan Menteri Luar Negeri BEM Fakultas Pertanian Unhas David Syamjaya menyatakan, Indonesia saat ini membutuhkan gerakan sosial menyeluruh dari tingkat masyarakat untuk memperbaiki keadaan sebab kondisinya tragis dengan silang sengkarut masalah di berbagai bidang kehidupan.

Mahasiswa sebagai salah satu elemen perubahan, menurut Furqan, bisa bergerak dengan menyemai wacana-wacana kesetaraan, keadilan, dan sikap antikorupsi mulai dari tingkat kampus. ”Negara ini tragis. Semua lini kehidupan bermasalah. Sistem dan orang yang kita harapkan bekerja untuk rakyat ternyata mendahulukan kepentingan diri,” ujar Furqan. (pz/kmps)