Mampukah MUI Menjadi Imam?

KH. Drs. H. Cholisuddin Yusa’, Wakil Ketua Majelis Ulama (MUI) Kota Tangerang Selatan (Tangsel), mengklaim bahwa MUI harus menjadi imam bagi seluruh organisasi keagamaan Islam di Indonesia dan bahwa fatwa-fatwa keagamaan MUI harus diikuti dan menjadi pedoman bagi pelaksanaan keagamaan bagi seluruh umat Islam di Indonesia.

“Kita Harus percaya kepada MUI yang merupakan berkumpulnya para ulama dan pakar tentang hukum Islam. MUI bukan hanya sekedar setempel formal pemerintah, melainkan benar-benar mampu melakukan kajian dan telaah yang obyektif dan mendasar terhadap sebuah hukum Islam. Jadi, Harus diikuti,” katanya kepada MUIonline, Ciputat, Senin (11/2) tadi pagi.

Benarkah pernyataan seperti ini? Dapatkah para petinggi merealisasikannya? Apakah seluruh kaum Muslimin akan menerimanya?

MUI sendiri mengakui bahwa masih banyak umat Islam Indonesia yang belum sepenuhnya percaya pada fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI seperti dikutip oleh Cholisuddin yang merupakan pengasuh Pesantern Tebar Iman Ciputat. Dinilai bahwa banyak masyarakat menilai peran MUI hanya sebatas stempel bagi kepentingan pemerintah atau penguasa.

Hal ini dapat dimaklumi mengingat bervariasinya manhaj-manhaj yang bermunculan di kalangan umat Islam Indonesia, yang notabene menyebabkan beragamnya penafsiran serta langkah-langkah pengambilan solusi-solusi dalam berbagai permasalahan masyarakat, meski seluruhnya setuju untuk menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pedoman utama.

Meski demikian, apresiasi dan dukungan sedikit banyak perlu diberikan kepada upaya MUI untuk mensejahterakan umat.

“MUI juga harus benar-benar mampu menyelesaikan problem hukum syariat yang berkembang di tengah masyarakat luas. Masyarakat Islam harus benar-benar terlindungi dari persoalan halal dan haram. Bukan hanya sekedar memberikan sosialisasi fatwa tertulis, melainkan MUI juga harus turun ke lapangan untuk mencegah perbuatan yang jelas jelas dinilai haram, seperti praktek rentenir dan lain-lain,” tegasnya.

Dukungan serta harapan memang perlu diberikan oleh masyarakat Islam Indonesia, namun sikap kritis akan keotentikan sumber rujukan yang diambil oleh lembaga-lembaga keagamaan negara sangat dianjurkan untuk dimiliki masing-masing individu. Wallahu’alaam

(DM/mui)