Media Amerika: China dan Natuna, Alasan Indonesia Beli Osprey V-22 AS

Natuna merupakan perairan yang kaya akan gas alam dan, tentu saja, ikan. Itulah sebabnya China iri dengan pulau-pulau Indonesia ini.

Tidak ada pihak yang secara serius membantah bahwa Natuna adalah milik Indonesia, namun Beijing selama ini menegaskan klaimnya atas “nine-dash line”—level terjauh dari klaim tidak resmi China di Laut China selatan—meluas jauh ke zona ekonomi eksklusif 200 mil di sekitar kepulauan tersebut.

Itulah sebabnya kapal-kapal penangkap ikan China, yang dikawal oleh kapal penjaga pantai paramiliter, sering berlayar ke perairan di sekitar Natuna dan menggunakan jaring paling bawah untuk menangkap setiap makhluk hidup dari petak samudra yang luas.

Aksi penangkapan ikan telah menjadi krisis geopolitik. Pada bulan Januari lalu, sebuah armada penangkap ikan China dari Natuna setelah Presiden Indonesia Joko Widodo mengunjungi kelompok pulau tersebut. Namun, armada China kembali pada bulan berikutnya.

“Sedikit demi sedikit, saya pikir China akan mengambil laut Indonesia, laut Filipina, laut Vietnam,” kata Wandarman, seorang nelayan di Natuna, kepada The New York Times. “Mereka lapar; minyak, gas alam, dan banyak sekali ikan.”

Indonesia terkadang menanggapi serbuan China dengan mengerahkan pesawat patroli, jet tempur, dan kapal Angkatan Laut ke Laut China Selatan. Tapi ada masalah. Pangkalan Indonesia di wilayah ini sedikit, kecil dan kurang berkembang.

Ada bandara di Ranai, ibu kota Natuna. Fasilitas itu dengan landasan pacu 8.400 kaki secara teori dapat mengakomodasi jet tempur F-16 dan Su-30 milik Angkatan Udara Indonesia, yang di masa lalu telah dikerahkan di sekitar pinggiran Laut China Selatan.

Ada lapangan terbang yang lebih kecil di Matak, sebelah barat Ranai, yang panjangnya 3.900 kaki—mungkin terlalu kecil untuk jet cepat. Ada pangkalan Angkatan Laut di Tanjung Pinang, 300 mil barat daya Ranai, yang dapat mendukung kapal Angkatan Laut hingga 100 kaki panjangnya.

Itu cukup banyak untuk infrastruktur militer utama. Sebagian besar pelabuhan laut dan pangkalan udara terbesar di Indonesia berjarak ratusan mil dari Natuna. Itu berarti setiap kekuatan signifikan yang dikerahkan ke kepulauan harus berfungsi sebagai basisnya sendiri sambil mempertahankan jalur komunikasi jarak jauh.