Mega Sebut Nama Ketua MPR Zulkifli Lubis, Gak Salah Bu?

Eramuslim.com – Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri menyampaikan pidato politik dalam ulang tahun partainya di Jakarta Convention Center, Selasa, 10 Januari 2017. Mengenakan baju warna merah dan hitam, Mega mengawali orasinya itu dengan salam khas Indonesia di awal masa-masa revolusi 45, “merdeka” sebanyak tiga kali.

Namun, ada kejadian yang cukup menggelitik selama Megawati berpidato. Setidaknya tiga kali ketika putri Proklamator Indonesia, Soekarno, tersebut keseleo lidah.

1. Zulkifli Lubis

Sebagaimana pidato-pidato para tokoh atau pejabat di Indonesia, selalu diawali dengan menyapa para tamu-tamu penting yang hadir. Begitupula dengan Megawati dalam pidatonya tersebut.

Megawati-10A

Ia memulai dengan menyapa Presiden Jokowi, Wakil Presiden Jusuf Kalla. Namun, sedikit kesalahan terjadi ketika dia menyebut nama Ketua MPR Zulkifli Hasan. Mega menyebut dengan Zulkifli Lubis.

Antara Zulkifli Hasan dengan Zulkifli Lubis tentu berbeda. Zulkifli Hasan adalah Ketua Umum Partai Amanat Nasional, mantan Menteri Kehutanan, dan Ketua MPR, sedangkan Zulkifli Lubis adalah tokoh militer Indonesia.

Setelah menyebut Zulkifli Lubis, Mega lanjut menyapa tamu-tamu penting lainnya, yaitu Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Ketua DPR Setya Novanto yang tidak hadir dan diwakili Sekretaris Partai Golkar Idrus Marham, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, Ketua Umum PPP M. Romahurmuziy, Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta, yang menggantikan Wiranto, Ketua Umum PKPI sekaligus sahabatnya, AM Hendropriyono dan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj.

2. Notabena

Mega sempat menyebutkan “notabena” saat membahas soal ideologi tertutup. Saat itu, Mega tengah menerangkan soal para pemimpin yang menganut ideologi tertutup yang memosisikan dirinya sebagai pembawa “self fulfilling prophecy” atau para peramal masa depan.

Menurut Mega, mereka dengan fasih meramalkan yang akan pasti terjadi di masa yang akan datang, termasuk dalam kehidupan setelah dunia fana. Setelah itu, kata “notabena” pun keluar.

3. Peristiwa di Penghujung 2015

Mega juga menyinggung suatu peristiwa di penghujung tahun 2015. Peristiwa itu bahkan sampai menggugah pertanyaan filosofisnya.

Mega lantas menilai peristiwa itu harus dimaknai sebagai cambuk yang mengingatkan pentingnya Pancasila sebagai pendeteksi sekaligus tameng proteksi terhadap tendensi hidupnya ideologi tertutup, yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

Berdasarkan catatan VIVA.co.id, pada penghujung tahun 2015, tidak ada peristiwa sosial atau politik yang cukup besar terjadi di Indonesia. Peristiwa besar baru terjadi pada penghujung tahun 2016 yaitu ketika jutaan umat Islam bergerak ke Jakarta untuk menggelar aksi damai pada 4 November 2016 dan 2 Desember 2016.

Jutaan massa itu menuntut agar Basuki Tjahaja Purnama yang kemudian menjadi tersangka dan kini terdakwa agar diproses hukum akibat dugaan penistaan terhadap Alquran. Setelah aksi tersebut, lalu muncul aksi-aksi lainnya yang menyuarakan kebhinekaan, NKRI, dan Pancasila. (kl/viva)