#MenolakLupa: Janji Jokowi Yang Menguap di Bukit Duri

Eramuslim.com – Warga di bantaran Sungai Ciliwung Kelurahan Bukit Duri, Jakarta Selatan, pernah bermimpi memiliki kampung deret yang humanis dan terbebas dari banjir. Namun mimpi itu terkubur seiring dengan pembongkaran yang dilakukan oleh aparat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap pemukiman warga, pada Rabu (28/9).

Yang tersisa hanya kenangan warga akan mimpi tersebut. Tokoh masyarakat setempat, Ignatius Sandyawan Sumardi, menceritakan kenangan itu kepada CNNIndonesia.com.

Mimpi warga Bukit Duri memiliki kampung deret yang humanis dan terbebas dari banjir, bermula pada tahun 2012.

bukit-duri

Sandyawan bercerita bahwa saat itu, Kelurahan Bukit Duri menjadi bagian dari tim pemenangan pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama yang maju dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta.

Jokowi mendatangi Bukit Duri dengan membawa perasaan senasib. Ia mengaku berasal dari pemukiman di daerah bantaran sungai saat tinggal di Solo. Rumahnya juga pernah mengalami pembongkaran.

“Kami merasakan ada rasa senasib, hingga akhirnya kami merasa punya tempat untuk mengadu,” kata Sandyawan yang juga penggagas komunitas Ciliwung Merdeka.

Perasaan senasib itu membuat kehadiran Jokowi di Bukit Duri membawa harapan bagi warga yang sudah mengalami ancaman pembongkaran sejak zaman Orde Baru.

Kepada Jokowi, Sandyawan menyampaikan solusi Kampung Deret untuk warga Bukit Duri.

“Dia (Jokowi) memberikan kesempatan pada kami satu jam untuk presentasi konsep kampung susun tanggal 6 Oktober 2012. Pak Jokowi datang membawa aparat pemerintahan bahkan Wali Kota Jakarta Selatan. Bahkan, dari ide kami, Jokowi waktu itu rencanakan akan bangun di 27 titik di Jakarta berdasarkan tema” tuturnya.

“Waktu itu Pak Jokowi dengan yakin dan penuh penekanan berkata, ‘kami tidak akan merelokasi apa lagi menggusur, kami akan menata kembali, kami akan merevitalisasi kampung ini,'” Sandyawan mengenang.

Jokowi-Ahok akhirnya berhasil memenangkan Pilkada DKI Jakarta. Ini membuat harapan warga Bukit Duri untuk memiliki kampung deret yang humanis dan terbebas dari banjir, semakin membuncah.

Tahun demi tahun berjalan. Tetapi rencana pembangunan Kampung Deret tak kunjung direalisasikan oleh Pemprov DKI Jakarta.

Rencana tersebut semakin tak menentu saat Jokowi berhasil memenangkan Pemilihan Presiden 2014. Sejak saat itu, tak pernah lagi rencana pembangunan Kampung Deret dibicarakan, baik oleh Jokowi sebagai Presiden RI dan Ahok, sapaan Basuki sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Yang terjadi justru sebaliknya. Wacana penggusuran semakin lantang disuarakan oleh Ahok di berbagai media massa.

Puncaknya terjadi pada Rabu (28/9).

Hari itu, Pemprov DKI Jakarta kembali menyambangi warga Bukit Duri yang bermukim di bantaran Sungai Ciliwung. Tetapi bukan untuk dialog atau mengumbar janji seperti dilakukan oleh Jokowi-Ahok ketika kampanye Pilkada 2012. Melainkan untuk membongkar secara paksa pemukiman warga.

 

Menolak Rusun Rawa Bebek

Mereka yang rumahnya dibongkar adalah warga di RW 09, RW 10, RW 11 dan RW 12. Pemprov DKI Jakarta menyediakan Rumah Susun Rawa Bebek di Cakung, Jakarta Timur, kepada warga yang menjadi korban penggusuran.

Sandyawan dan sejumlah warga lain lebih memilih untuk mengontrak ketimbang menempati rusun tersebut. Penolakan mereka bukan tanpa alasan.

Ia mengatakan tinggal di rusun tak sama dengan tinggal di kampung.

Di rusun tidak ada ruang bersosialisasi, warga dijauhkan dari sumber mata pencaharian mereka, anak-anak juga semakin jauh dari sekolah.

Semua itu, kata Sandyawan, membuat biaya hidup di rumah susun semakin membengkak.

“Warga itu bukan orang bodoh, banyak yang punya kecerdasan alamiah. Warga sudah 3-4 kali survei di Rawa Bebek, biaya di sini hanya Rp 100 ribu sampai Rp 300 ribu sebulan, sedangkan di sana bisa sampai Rp1 juta sebulan,” ucapnya.

Struktur rumah susun juga tak menunjang warga untuk mencari nafkah. Sandyawan mengatakan, di Bukit Duri, banyak pemukiman warga dibangun seperti konsep rumah panggung.

Di bagian bawah rumah, warga memanfaatkannya sebagai sebagai tempat usaha. Sedangkan, lantai atas dapat digunakan sebagai tempat tidur dan berkumpul bersama.

Warga tak bisa melakukan itu jika tinggal di rumah susun yang ditawarkan Pemprov DKI Jakarta. Dengan alasan tersebut, banyak warga memilih bertahan di kawasan sekitar rumah mereka.

Sandyawan mengatakan bahwa ada sekitar 20 KK yang menolak tinggal di rusun, secara bersama-sama mengumpulkan uang untuk mengontrak rumah di RW 11.

Namun, ia mengaku sejak menempati kontrakan itu warga merasa mendapat teror dari Pemprov DKI Jakarta, polisi dan tentara.

“Ada 20 KK itu pun didatangi, diteror, dan diusir. Yang datang Pak Camat, Pak Lurah, Koramil dan polisi. Kami tidak boleh tinggal di situ padahal kami ngontrak. Apa ini, negara apa ini?” tuturnya.

Kini, warga tak tahu harus mengadu kepada siapa.

Kepercayaan mereka kepada Presiden Jokowi dan Ahok mungkin berada di titik nadir seiring aksi penggusuran yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta terhadap pemukiman tersebut. (th/cnn)