Metode Penghitungan Suara 2019 Tidak Diubah dan Tetap Berlaku untuk 2024

 

eramuslim.com – Metode penghitungan suara di Pemilu 2024 disepakati. Metodenya satu panel.

Hal ini dibahas pada rapat konsultasi di Komisi II DPR Rabu (20/9) malam. Usulan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait masa pendaftaran calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) dilaksanakan pada 19-25 Oktober 2023 resmi disetujui DPR dan pemerintah.

Disepakati juga metode penghitungan suara pemilu 2024 satu panel, bukan dua panel sebagaimana usulan KPU sebelumnya.

Terkait jadwal pendaftaran capres-cawapres, Ketua KPU Hasyim Asy’ari menyebut pembukaan pendaftaran capres-cawapres pada 19 Oktober tersebut sama dengan skema awal yang diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 3/2022 tentang Jadwal dan Tahapan Pemilu 2024.

Sebelumnya, KPU juga menawarkan opsi masa pendaftaran capres-cawapres pada 10-16 Oktober. Opsi tersebut lantas dikonsultasikan ke Komisi II DPR dalam bentuk Rancangan PKPU tentang Pencalonan Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam rancangan PKPU itu juga mengatur jadwal penetapan capres-cawapres, yakni 13 November mendatang. Kemudian dilanjut penetapan nomor urut pasangan calon (paslon) di hari berikutnya, yakni 14 November. Dalam rapat tersebut, tanggal itu juga disetujui oleh DPR dan pemerintah.

Selain rancangan PKPU terkait pencalonan capres-cawapres, dalam rapat konsultasi itu juga disepakati rancangan PKPU tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara untuk pemilu 2024.

Poin-poin yang disepakati salah satunya terkait dengan metode penghitungan suara. DPR mengisyaratkan agar penghitungan suara menggunakan metode satu panel.

Sebelumnya, KPU menawarkan opsi metode penghitungan suara dua panel untuk pemilu 2024. Namun, menurut Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia, opsi tersebut punya beberapa konsekuensi.

Salah satunya, mengharuskan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk menyiapkan perangkat pengawasan penghitungan suara dua panel.

“Bagaimana cara membagi satu pengawas melihat dua panel?” kata anggota DPR Fraksi Golkar tersebut. Dia pun mengusulkan kepada KPU agar tidak menerapkan metode penghitungan suara dua panel pada pemilu kali ini. Tapi pada pemilu berikutnya.

”Lebih baik pemilu 2024 ini kita samakan (dengan) yang kemarin (pemilu 2019), tetap satu panel,” imbuhnya.

Hasyim menjelaskan, opsi penghitungan suara model dua panel sejatinya disusun untuk mengurangi beban anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Metode tersebut diperuntukkan agar penghitungan suara di tempat pemungutan suara (TPS) bisa lebih cepat.

Namun karena DPR meminta untuk menggunakan metode satu panel, Hasyim pun sudah menyiapkan strategi agar kejadian meninggalnya ratusan anggota KPPS pada 2019 lalu tidak terulang.

Salah satu strateginya adalah memperhatikan usia dan kondisi kesehatan sebagai syarat anggota KPPS.

Dalam paparannya, Hasyim menjelaskan bahwa dua panel itu masing-masing untuk menghitung suara hasil pilpres dan pemilihan anggota DPD (Panel A). Kemudian untuk Panel B untuk menghitung hasil pemilihan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Sementara itu, Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraeni menyatakan skema penghitungan suara dua panel memang berdampak pada berkurangnya akses masyarakat terhadap transparansi dan partisipasi untuk mengikuti seluruh penghitungan suara di TPS.

Sebagai contoh, ketika penghitungan suara pilpres berlangsung, maka masyarakat partisipasi masyarakat untuk mengikuti penghitungan suara DPR dan DPRD. “Sebagai pemilih atau pemantau kalau datang sendirian, maka hanya bisa mengikuti salah satu (penghitungan saja, Red),” ujarnya kepada Jawa Pos (grup FAJAR).

Titi menyebut mekanisme dua panel juga memerlukan fasilitasi TPS yang cukup luas dan memadai. Mengacu pada pemilu sebelumnya, kondisi itu tidak memungkinkan dilakukan pada TPS yang lokasinya sempit.

“Yang kalau (TPS) dibagi dua akan sangat mengurangi keleluasaan mobilitas petugas,” paparnya. (sumber: jpg/fajar)

Beri Komentar