Miris… Menkes Keluhkan Sertifikasi Halal Produk Farmasi

Eramuslim – Anggota Komisi IX bidang Kesehatan DPR RI, Ahmad Zainuddin menangkap adanya kesan pesimistis Kementerian Kesehatan dalam menjalankan amanah UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) terhadap produk farmasi seperti vaksin.

Dalam rapat kerja Komisi IX bersama Menteri Kesehatan Nila Djuwita F Moeloek di kompleks DPR RI, pada Senin (4/9) kemarin, Menkes Nila mengungkapkan dampak UU JPH terhadap industri farmasi. Menurutnya, Industri farmasi adalah industri yang padat modal memerlukan teknologi tinggi dalam hal penelitian dan pengembangan, studi klinis, produksi maupun pengemasan.

“Dampak UU JPH terhadap rantai nilai proses dan rantai pasokan obat dan vaksin ditinjau dari 6 tahapan, yaitu tahap pertama, tahap penelitian dan pengembangan produk, menyiapkan dan memiliki dokumen bahan baku farmasi, melakukan registrasi dan melakukan uji Bioavailabilitas-Bioekivalensi yaitu uji untuk menjamin efikasi dan keamanan obat. Hal ini tidak dibuat dengan pertimbangan atas dasar ke-agamaan tertentu,” jelas Menkes Nila.

Tahap kedua, lanjut Nila, tahap penyiapan bahan obat yang meliputi zat aktif (Active Pharmaceutical Ingredients/API) dan bahan tambahan (non Active Pharmaceutical Ingredients/non API), penyiapan kemasan primer, pelabelan, logistik, dan pemilihan pemasok bahan.

“Diperlukan bahan API, non-API dan kemasan yang halal serta pemasok bahan yang terpercaya. Sementara 95 persen bahan baku obat kita masih impor,” imbuhnya.

Berikutnya, tahap proses produksi obat yang menerapkan Cara Pembuatan Obat Yang Baik terkini (current-Good Manufacturing Practice). Bahwa lokasi, fasilitas produksi harus terpisah dari yang non-halal pada semua kegiatan produksi dan memerlukan supervisor halal.

“Tahap keempat, tahap distribusi dengan menerapkan Cara Distribusi Obat Yang Baik. Untuk penyimpanan, pengangkutan dan penanganan bahan, harus terpisah dari yang non-halal,” tambahnya.

Tahap kelima, lanjut Nila, tahap obat dan vaksin pada fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, klinik dan puskesmas, dimana setiap kegiatannya harus dipisahkan dari yang non-halal. “Terakhir tahap keenam, tahap pemberian layanan kepada profesional kesehatan dan pasien/konsumen, harus dipisahkan dari yang non-halal,” papar Nila.

“Kewajiban Sertifikasi halal mengakibatkan perubahan total pada industri farmasi, yaitu perubahan dari bahan menyebabkan proses ulang terhadap quality, safety and efficacy, perubahan proses distribusi, penambahan personil/staff, kemampuan ekonomi industri menurun akibat peningkatan biaya produksi serta belum ada pengakuan negara lain terhadap sertifikat halal sediaan farmasi dan alkes,” tambahnya.

Menkes Nila mengganggap sertifikasi halal hanya akan memperlemah pengembangan obat, daya saing dan sustainability industri obat di Indonesia. Dari enam tahapan tersebut, minimum diperlukan Rp 96,5 triliun untuk sampai menghasilkan produk farmasi halal. Sementara obat impor mencapai 50 persen dari total obat yang beredar di Indonesia, tidak mungkin bisa dilakukan sertifikasi halal.

Subhanallah, jika Ibu Menteri tinggal di negara dengan mayoritas penduduk non-Muslim sah-sah saja berpendapat seperti itu. Tapi jika tinggal di penduduk dengan mayoritas Muslim, maka unsur halal wajib terpenuhi.

Toh yang non-Muslim juga akan memakai produk kesehatan yang halal kan? Gitu aja repot bu menteri. (Ram)