eramuslim.com – Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh menyatakan pewarna makanan yang berasal dari serangga Cochineal halal untuk digunakan.
Niam menyebutkan bahwa pada hakikatnya tidak membahayakan. “Karena pada hakikatnya dia halal dan tidak membahayakan,” ujar Niam dilansir dari Antara.
Niam menambahkan secara khusus telah melakukan kajian Panjang terkait penggunaan pewarna makanan yang berasal dari serangga Cochineal.
Beberapa hal yang dikaji salah satunya adalah penelitian mengenai sifat-sifat.
“Berdasarkan informasi ahli yang memang secara khusus melakukan penelitian mengenai serangga menjelaskan sifat-sifat cochineal dan mendekati al jarot,” Kata Niam.
Niam menambahkan, dengan begitu serangga Cochineal bisa digunakan untuk pewarna makanan, obat-obatan, kosmetika, dan lain lain.
Sementara itu menurut Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM NU) Jawa Timur, menyatakan bahwa pewarna dengan bahan Cochineal adalah sesuatu yang haram.
“Karena hal itu, kita sudah memutuskan (dalam bahtsul masail) bahwa (Cochineal) itu merupakan bagian yang diharamkan menurut Imam Syafi’i. Dan kita adalah orang-orang dari kalangan Syafi’iyah,” ujar Katib pengurus wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim Romadhon Chotib dikutip dari laman resmi NU Jatim.
Hasil Bahtsul Masail NU Jatim memutuskan bahwa bangkai serangga (hasyarat) tidak boleh dikonsumsi karena najis dan menjijikan, kecuali menurut sebagian pendapat dalam madzhab Maliki.
Sedangkan menurut Imam Qoffal, Imam Malik, Imam Abu Hanifah serangga dihukum suci dan diperbolehkan karena serangga tidak memiliki darah yang menyebabkan bangkainya bisa membusuk.
Sementara itu, Wakil Sekretaris Fatwa MUI Abdul Muiz Ali menyampaikan penetapan kehalalan produk adalah wewenang dari MUI sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 dan turunannya.
“Fatwa MUI dikeluarkan secara independen dan sesuai dengan pedoman penetapan Fatwa MUI termasuk di antaranya didahului dengan kajian-kajian yang melibatkan para pakar di bidangnya,” ujar dia.
Dalam konteks ini MUI telah melakukan kajian dalam konteks sains dan fikih.
“Secara jama’i (kolektif) fatwa disepakati hasil sebagaimana termaktub dalam fatwa MUI”imbuh dia.
Ia menambahkan sebagai salah satu masalah yang masuk dalam ijtihad, perbedaan hasil ijtihad sangat mungkin terjadi. Bahkan, jika hal tersebut juga dirujuk dari sumber-sumber mu’tamad (terpercaya) dan mazhab-mazhab fikih.
Oleh karena itu, menurutnya perbedaan hasil fatwa MUI dengan LBM-PWNU Jawa Timur harus dilihat sebagai perbedaan hasil ijtihad mengenai ilmu serangga Cochineal.
“Masing-masing ada argument dan hujjah yang mendasari sehingga tidak perlu dipersoalkan berlebihan, dan hasil ijtihad tidak membatalkan satu sama lain,” Pungkas dia. (sumber: jpg/fajar)