Nabi Yusuf, dan Regulasi Ekonomi Pertama Dalam Sejarah?

Regulasi ekonomi pertama dalam sejarah, mungkin, adalah pengetatan fiskal dan pembatasan konsumsi.

Yusuf berkata: "Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan.

Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan.
(12:48-49)

Yusuf As, nabi yang terkenal tampan itu, dalam Surat Yusuf dikisahkan menakwilkan mimpi Qithfir, Raja Mesir, yang bermimpi melihat tujuh sapi gemuk yang dimakan oleh tujuh sapi kurus, dan tujuh bulir gandum yang hijau, dan tujuh lainnya yang kering. Dari mimpi itu, Yusuf menyarankan Raja untuk menyimpan hasil panen tujuh tahun pertama untuk paceklik tujuh tahun kedua.

Mungkin, itu regulasi ekonomi pemerintah pertama dalam sejarah. Sebuah regulasi untuk menahan konsumsi, agar tidak berlebihan. Saya tak tahu, bagaimana mekanisme seorang raja kala itu dalam mengatur perekonomian negaranya. Yang jelas, tidak seperti penguasa feodal pada umumnya, Qithfir sepertinya tidak mengelilingi kekuasaannya dengan mitos ketuhanan ala Firaun, tidak ada riwayat Yusuf berdakwah untuk itu. Bahkan, para orang terkemuka kerajaan tersebut, sepertinya bukan lah orang sok tahu yang percaya takhayul. Mereka mengaku tidak mampu, kala diminta raja menafsirkan mimpinya.

Lantas, bagaimana regulasi untuk menahan rakyat agar tidak berlebihan dalam mengkonsumsi bisa berhasil ?

Belum adakah, rasa serakah. Atau kemauan diam-diam untuk mengambil lebih, saat raja dan aparatnya tidak tahu ? Entahlah, yang pasti, kala itu pemerintahan sebuah negara mampu menahan rakyatnya untuk tidak berlebihan. Dan mampu memastikan; mereka tidak mengalami derita, saat paceklik datang.

Sebuah pemerintahan yang sangat kuno -di mana raja dapat dipastikan tidak lapar saat paceklik- sudah memiliki kesadaran peran yang baik dan instrumen pelaksana kebijakan yang efektif.

Padahal, keinginan untuk memperoleh kekayaan lebih banyak dari apa yang bisa dimakan selalu menguasai rasionalitas dalam mengambil keputusan. Dan sejarah ketidakadilan-penderitaan selalu berdiri di atas itu.

Editor Times Economics, Gary Duncan, melihat pola yang sama, di mana keserakahan manusia kemudian mengalahkan rasionalitas dan kehati-hatian dalam bertindak. Kerugian yang dialami oleh investor pasar modal dalam beberapa bulan terakhir, dapat dengan mudah dilupakan saat kesempatan dan keserakahan datang. Dan keinginan untuk memperoleh lebih dari apa yang bisa dihabiskan, menjadi landasan utama dalam membuat keputusan.

"In the eternal battle between fear and greed for ascendancy in markets’ psyches, it seems that greed has once again secured the upper hand"

Pasar saham, memang bergairah, dan kebangkitannya, seringkali sebuah tanda bahwa resesi akan berakhir enam bulan kemudian. Lalu, seperti yang kita bisa lihat di kantor-kantor perusahaan sekuritas, para pemain datang kembali. Mereka menilik dan bertaruh. Untuk memperoleh lebih, dari apa yang bisa dimakan.

Benarkah krisis akan selesai enam bulan lagi? Entahlah. Tapi, karena krisis ini, ADB memprediksi 56 ribu anak Asia akan mati. Orang tua mereka, orang-orang lemah, mungkin tak pernah tahu, apa itu subprime mortgage, penyebab kematian anak mereka.

Lalu di mana posisi pemerintah, yang harus menahan masa kelebihan, untuk menghadapi masa kesulitan, seperti kisah Yusuf ?

Rizki A.Hakim