Negeri Fitnah Yang Menerapkan “Summum Ius Summa Iniuria”

Sampai sekarang belum kembali ke Indonesia. Mungkin sebentar lagi balik. Apalagi SP3 sudah keluar. Tidak lagi ada hambatan untuk pulang.

Betapa nyaman menjadi perampok besar di negeri ini. Kabur bertahun-tahun ke luar negeri, lalu keluar SP3 dari KPK. Padahal BLBI adalah perampokan uang rakyat puluhan, bahkan ratusan triliunan rupiah.

Perampokan ini ditutup hanya dengan Inpres No. 8 Tahun 2002. Inpres ini diteken oleh Megawati Soekarnoputri ketika menjabat sebagai Presiden.

KPK semestinya tidak menetapkan SP3 kepada penjahat besar Syamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim. Sebab pasal 40 ayat (1) UU KPK hanya merumuskan “dapat”.

Tidak adanya kewajiban bagi KPK untuk mengeluarkan SP3. Wajar jika KPK dicurigai bermain-main dalam kasus ini. Sudah terlalu banyak tampilan wajah muram ketidakadilan di negeri ini.

Rakyat sangat merasakan ketidakadilan itu. Kekuasaan dan kekayaan yang membenarkan perlakuan berbeda terhadap warga negara. Asas “equality before the law” dapat dilanggar dengan berbagai alasan.

Atau mungkinkah mereka memahami dan bersikap tak peduli pada keadilan mengingat ada adagium hukum “summum ius summa iniuria”, yang berarti keadilan tertinggi adalah ketidakadilan?

Penguasa sekareng berhak untuk berbuat tidak adil dengan merasa telah berlaku adil? Soal fitnah keji? Mungkin merasa tidak juga karena di negeri Rusia tahun 2012-2017 pernah sukses  mempropagandakan teori semburan fitnah “firehose of falsehood”.

Menebar kebohongan demi mempengaruhi opini publik termasuk media massa.

Adakah rezim Jokowi sedang mempraktekkan teori semburan fitnah ala Rusia saat ini? Sejarah akan berbicara esok.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan. [FNN]