Orientalis, Penasehat Penjajahan di Negara Muslim

Bila kita membaca sejumlah nama orientalis, maka kita akan terkesima, dan kita harus merenung tentang kita. Kendati mereka mempelajari Islam bukannya untuk mencari kebenaran, tapi merusaknya dengan pola pikir mereka, tapi mereka mengkaji Islam dengan serius, telaten, dan ulet. Karena itu, bagi sebagian sarjana Muslim yang terbaratkan (westernized) mengaku bangga merujuk hasil karya mereka.

Sebagai contoh, C. Snouck Hurgronje. Ia sengaja dikirim oleh pemerintah Kerajaan Belanda datang ke Aceh (Indonesia) untuk menjadi penasehat pemerintah dalam bidang sosial, keagamaan, dan tentunya strategi politik Belanda.

Snouck dikenal sebagai orientalis ulung, menguasai antropologi, linguistik, pandai berbahasa Arab dan ahli hukum Islam. Kedatangan laki-laki kelahiran 1857 merupakan babak baru dimulainya kajian Islam secara umum, dan studi Islam Indonesia khususnya.

Ia mengkaji Islam dengan menggabungkan bahasa Arab, antropologi Hindia Belanda, dan politik kolonialisme. Untuk mengetahui daerah garapannya, setibanya di Indonesia, ia mengelilingi pulau Jawa selama setengah tahun.

Dari perjalanan dan pengakjiannya itu, ia pun menuding Islam sebagai kekuatan kolonial layaknya bangsa-bangsa Barat. Karena itu, dengan merasa khawatir dan ketakutan, ia memberikan saran kepada Kerajaan Belanda untuk menjajah Indonesia (umat Islam) dengan hati-hati.

”sebagai kekuatan yang bersifat imperium kolonial seperti kita ini, (Islam dan umatnya, red) harus dipelajari dengan sungguh-sungguh dan harus digarap dengan kebijaksaan yang tepat, ” ujar Snouck sebagaimana ditulis G. W.J. Drewes dalam ”Snouck Hurgronje and the study of Islam”. (A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, 1988).

Untuk melengkapi dan mempengaruhi pengaruhnya terhadap kelanjutan kolonialisme terhadap kaum muslimin, ia mendirikan Komisi Hukum Adat. Bersama Van Vollenhoven, mereka menulis dan menerbitkan buku Adat Rechtbundels. Buku itu ditulis selama sepuluh tahun dalam 45 jilid. Dari buku ini, hukum adat lebih disanjung dan diterapkan pemerintah Indonesia sebagai hukum positif pasca kemerdekaan Republik Indonesia.

Menurut Mukti Ali, kendati ia mendapat kritikan dari beberapa peneliti, misalnya dari H.J. Benda dalam tulisannya berjudul, ” Christian Snouck Hurgronje and the foundation of Dutch Islamic Policy in Indonesia, karya Snouck tetap menjadi rujukan bagi para peneliti tentang Islam masa awal di Indonesia.

Buku Snouck berjudul ”Verspredei Geschriften” merupakan referensi utama bagi mereka. Dalam buku ini, ia menulis tentang Islam dan sejarahnya, Negari Arab dan Turki, Islam di Hindia Belanda, dan politik Islam Kerajaan Belanda. Buku yang terdiri atas tujuh jilid itu ia tulis selama empat tahun.

* * * *


Pengikut Barat

Hal yang sama juga dilakukan para akademisi Amerika Serikat (AS). Samuel Huntington. Ia adalah tokoh yang disebut-sebut sebagai penasehat politik penguasa negeri Paman Sam itu. Kejahatan AS di negara-negara Muslim selama ini tak lepas dari petuahnya. Dalam bukunya yang kontroversial, The Clash Civilization, ia menuding Islam sebagai kekuatan yang mengancam kepentingan Barat di negara-negara Muslim.

Atas dasar tesis Huntington, itu rezim AS tak segan-segan menyerang pihak-pihak yang dianggap melawan kepentingan AS, terutama negara-negara Muslim. Tak ayal pula, aktivis dan organisasi dakwah dan sosial Islam yang melawannya dianggap teroris.

Cara lain yang digunakan para kaum penjajah adalah meninabobokkan sejumlah sarjana dan penguasa setempat dengan berbagai fasilitas agar mereka masih bisa bercokol dan menguasai aset-aset bangsa.

Inilah kisah kemunduran dunia Islam ketika para penguasa, pejabat dan sarjananya menjadi antek-antek mereka. Cara seperti ini sama persis yang dilakukan orang-orang Barat ketika menginjakkan kakinya ke tanah air kaum muslimin.

Hegemoni dan pengaruh bangsa Barat saat ini hampir menyeluruh di dunia Islam. Pemikir Muslim asal India, Abu al-Hasan Ali al-Hasany al-Nadwy menggambarkan, “Bangsa-bangsa dan Negara-negara Asia atau Negara Timur sekarang ini menuju tujuan yang sama, sebagaimana dicapai bangsa-bangsa Eropa (Barat) dalam peradaban dan politik. Mereka juga sudah menganut apa yang dianut bangsa-bangsa Barat itu, baik di bidang moral, kebudayaan dan sosial, ” tegas. (Abu al-Hasan Ali al-Hasany al-Nadwy, Ma Dza Khasira al-’Alam bi Inhithath al-Muslimin, 1951)

Ia menambahkan, keadaan umat Islam lebih parah lagi dengan cara mereka mempercayai apa yang dipercayai bangsa Barat tentang kehidupan, alam, dan menghiasi prilaku mereka dengan kebudayaan Barat. ”Hanya saja mereka tidak rela bila orang Barat mendirikan kerajaan-kerajaan di tanah mereka, di Afrika, di Asia, ” sambungnya. (dina)