Pekerja Pribumi Tergulung Banjir Pekerja Asing

Di tengah sulitnya pekerja lokal sulit mencari nafkah, Jokowi justru menerbitkan Perpres yang memberikan karpet merah kepada masuknya TKA ke Indonesia.

Tentu saja, kebijakan ini bertolak belakang dengan kebutuhan tenaga kerja lokal. Adalah ironi, peristiwa ini terjadi karena kebijakan Jokowi. Pertanda apakah?

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, menilai, Perpres 20/2018 sangat memprihatinkan. Terkesan kuat kebijakan ini tidak memiliki sense of crisis, sense of urgency serta sense of direction.

Kata Said, di tengah kesulitan pekerja lokal mencari kerja, pemerintah seharusnya memfasilitasi lahirnya peluang kerja. Hal iotu lebih pas dengan janji kampanye Jokowi tentang penciptaan lapangan kerja untuk 10 juta tenaga kerja.

Namun, kenyataan jauh panggang dari api. Bukannya memfasilitasi pekerja lokal untuk mendapatkan pekerjaan, pemerintah malah mempermulus TKA untuk masuk ke tanah air.

Menurut Iqbal, Perpres Jokowi ini akan mengorbankan pekerja lokal. Di mana, mereka tidak akan bisa terserap. Meski arus investasi yang masuk cukup besar, pengangguran tetap saja tinggi.

Ya, karena investasi China diikuti dengan masuknya buruh-buruh kasar (unskill workers). Tidak ada perpres saja, buruh China menbanjiri Indonesia. Padahal, UU Nomor 13 tahun 2003 dan UUD 1945 mengamanatkan negara untuk menjaga ini.

Apalagi dengan adanya Perpres yang mempermudah TKA, patut diduga jumlah buruh kasar TKA China akan berkali-kali lipat jumlahnya. Bisa jadi, buruh lokal hanya akan menjadi penonton di negri sendiri.

Belum lagi soal diskriminasi gaji atau upah antara buruh lokal dengan TKA, meskipun jenis pekerjaan yang dilakukan, mirip. Mereka bergantian menggunakan alat yang sama, namun bayarannya berbeda.

Sebagai contoh, seorang sopir forklif di sebuah perusahaan investasi China yang memproduksi baja di daerah Pulogadung, Jakarta Timur, bergaji kurang lebih Rp10 juta per bulan. Sedangkan pekerja Indonesia di perusahaan yang sama hanya dibayar Rp3,6 juta per bulan. Sepertiga gaji pekerja asing.

Persoalan urgen lainnya adalah soal ketidakseimbangan jumlah pengawas dengan perusahaan yang ada. Di Jawa Timur, sedikitnya ada 40.000 perusahaan. Namun, jumlah pengawas hanya 200 orang.

Di Surabaya saja, terdapat sekitar 15 ribu perusahaan, pengawasnya hanya 15 orang. Bagaimana mungkin satu orang mengawasi seribu perusahaan? Jadi, jangann heran apabila banjirnya TKA bikin resah dan dikhawatirkan menjadi sumber kisruh.

Kenyataan lain, Survey Lembaga Survey Indonesia (LSI) menyebutkan, salah satu isu yang berpotensi menurunkan elektabilitas Jokowi adalah soal TKA. Dengan keluarnya perpres ini, dikhawatirkan bisa membuat tingkat kepercayaan rakyat kepada Jokowi, menurun. Tentunya, masalah ini tidak bisa dibiarkan berlarut. Apalagi Jokowi masih ingin berlaga di Pilpres 2019.

Ah, Jokowi. Oleh sebab itu, sangat masuk akal desakan dari kalangan serikat pekerja dan civil society agar Jokowi mencabut Perpres 20/2018. Karena, mengancam nasib tenaga kerja lokal. [inilah]