Pemerintah Diminta Tetapkan Gempa Jogya Sebagai Bencana Nasional

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) didesak untuk segera menetapkan gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah sebagai bencana nasional. Demikian diungkapkan Wakil Ketua MPR RI AM Fatwa pada wartawan di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Rabu (31/5).

Alasannya, pemerintah daerah (Pemda) memiliki keterbatasan dalam menangani bencana tersebut. Selain itu gempa berkekuatan 5,9 pada skala richter itu telah menelan korban lebih dari 5 ribu jiwa dengan harta benda penduduk, kerusakan berbagai fasilitas umum, dan infrastruktur mencapai Rp 2,5 triliun. Juga mengakibatkan gelombang puluhan ribu pengungsi yang membutuhkan bantuan.

"Ini harus segera diputuskan dan belum terlambat. Bahwa kemampuan pemerintah daerah terbatas, sehingga banyak disubsidi dari Jakarta," papar AM Fatwa.

Karena itu ia menyarankan agar SBY segera menunjuk pejabat berwenang untuk menjadi koordinator penanganan korban gempa. Presiden tidak perlu melakukannya sendiri. Karena hal itu bisa ditugaskan ke menteri, seperti Menko Kesra dll. Sehingga presiden tinggal menerima laporan dan tidak perlu berlama-lama di Yogya maupun Jawa Tengah.

Politisi PAN ini merasa heran mengapa pemerintah belum menetapkan bencana itu sebagai bencana nasional. Padahal korban dan akibat dari gempa itu sungguh luar biasa besarnya.

“Soal permintaan SBY agar penanganan gempa itu tidak dipolitisir, itu jelas tidak tepat. Karena merupakan hak setiap orang untuk mengoreksi kelambanan pemerintah dalam menangani bencana. Sehingga politisasi tidak bisa dihindari. Saya sebagai wakil rakyat kecewa dengan kelambanan pemerintah itu," ujar dia.

Sementara itu, anggota Komisi V DPR RI FKB Abdullah Azwar Anas mengusulkan perlunya dibentuk Lembaga Independen Penanggulangan Bencana Nasional. Itu penting untuk mempercepat sistem yang bekerja secara khusus menangani bantuan, yang ternyata lamban.

Menurut dia, DPR harus berinisiatif mengusulkan pembentukan RUU PB (Penanggulangan Bencana) untuk menanggulangi kendala di lapangan. Bukan saja soal distribusi bantuan, tapi juga pascabencana, bagaimana membangun infrastruktur seperti perumahan, jalan-jalan, transportasi, komunikasi-perhubungan, perdagangan, pertanian, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.

Lembaga itu, sambungnya, terdiri dari lintas departemen dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Lembaga tersebut untuk jangka panjang bertujuan agar masyarakat diberi pendidikan untuk selalu siap menghadapi segala kemugkinan bencana yang terjadi. Sehingga begitu ada bencana mereka tidak panik.

Menyinggung pembahasan RUU PB, kata Anas, saat ini pembahasannya terhenti di pasal 81 bab 3, tentang tugas dan kewenangan lembaga atau pemerintah dan kelompok-kelompok masyarakat. “Padahal kita menargetkan tahun ini harus selesai,” katanya.

Seperti diketahui draf RUU PB terdiri dari XIII Bab dan 79 Pasal, antara lain mengatur tentang (1) keputusan pemerintah terhadap status darurat bencana berdasarkan tingkatannya. (2) Posko penanggulanan bencana akan bereaksi cepat untuk melakukan tindakan evakuasi, penyelamatan korban dan jika diperlukan posko dapat meminta bantuan sumber daya negara yang ada termasuk TNI, Polri, PMI, LSM, organisasi kemasyarakatan, BUMN, dan pihak asing dalam satu komando dan anggarannya dari APBN.

Khusus TNI lanjut Anas, keterlibatan mereka harus dengan keputusan politik pemerintah yang selama ini belum pernah dilakukan. “Selama ini TNI serta merta terlibat karena kemampuan dan fasilitas yang mereka miliki. RUU PB juga mengatur batas waktu keterlibatan TNI dalam bertugas sebelum sepenuhnya mampu ditangani oleh sipil,” tegas dia. (dina)