Eramuslim.com – Pemerintah Indonesia menegaskan tidak akan memberikan izin bagi Encep Nurjaman alias Riduan Isamuddin alias Hambali untuk kembali ke tanah air jika suatu saat dibebaskan dari penjara militer Amerika Serikat di Guantanamo Bay, Kuba. Hal ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, yang menyatakan bahwa Hambali tidak memiliki dokumen kewarganegaraan Indonesia saat ditangkap.
Kondisi ini, menurut Yusril, membuat status kewarganegaraan Hambali secara hukum dianggap gugur. “Jika nantinya Hambali dibebaskan, kami tidak akan mengizinkan dia kembali masuk ke wilayah Indonesia,” ujar Yusril, Jumat (13/6/2025).
Yusril menjelaskan bahwa proses hukum terhadap Hambali menjadi kewenangan penuh pemerintah AS. Hambatan utama bagi pemulangannya adalah tidak adanya bukti sah bahwa Hambali adalah WNI. Saat ditangkap di Thailand, ia membawa paspor Spanyol dan Thailand, bukan paspor Indonesia.
Ia juga menegaskan bahwa Indonesia hanya mengakui satu kewarganegaraan (single citizenship), sehingga status kewarganegaraan ganda tak berlaku.
Sikap pemerintah ini berbeda dengan pernyataan Yusril pada awal tahun 2025, saat ia menyatakan bahwa pemerintah sedang mempertimbangkan kemungkinan memulangkan Hambali. Saat itu, ia menyebut negara memiliki tanggung jawab atas warganya yang ditahan di luar negeri.
Nama Hambali dikenal luas sebagai otak berbagai aksi teror di Asia Tenggara, termasuk Bom Bali 2002 yang menewaskan 202 orang dan melukai lebih dari 200 lainnya. Ia juga diduga terlibat dalam serangan terhadap rumah Duta Besar Filipina (2000), bom di Atrium Senen (2001), dan ledakan di Hotel JW Marriott serta Ritz-Carlton (2009). Selain itu, ia disebut sebagai dalang dari rangkaian bom malam Natal tahun 2000 di tujuh kota di Indonesia.
Hambali ditangkap dalam operasi gabungan CIA dan aparat Thailand pada 14 Agustus 2003 di Ayutthaya, Thailand. Ia sempat ditahan di penjara rahasia CIA sebelum akhirnya dipindahkan ke Guantanamo Bay pada September 2006 dan hingga kini masih menjalani proses hukum di sana.
Namun, muncul kritik yang mempertanyakan inkonsistensi pemerintah. Pada awal 2025, Yusril sempat menyatakan bahwa negara bertanggung jawab terhadap warga negaranya yang ditahan di luar negeri, termasuk Hambali. Apakah keputusan terbaru ini merupakan sikap resmi negara atau perubahan posisi yang bersifat politis?
Ada pula yang menilai bahwa negara tidak bisa begitu saja melepaskan tanggung jawab terhadap seorang warga negara, terutama jika belum ada proses hukum final yang membatalkan status kewarganegaraannya. Fakta bahwa Hambali belum pernah diadili secara tuntas menimbulkan pertanyaan soal haknya sebagai individu untuk mendapatkan pengadilan yang adil, termasuk kemungkinan menjalani hukuman di negara asal.
Sikap pemerintah menolak pemulangan Hambali memang berdiri di atas argumen hukum dan keamanan. Namun, konsistensi, transparansi, serta komitmen terhadap keadilan dan hak asasi manusia tetap perlu dijaga. Negara harus menjelaskan dengan terang: apakah keputusan ini murni soal dokumen dan hukum, atau ada hal yang belum diungkap ke publik?
Sumber: Kompas.com
Padahal mantan teroris bisa dimanfaatkan pemerintah sbg corong pemerintah utk de-redakilasi seperti Nasir Abas yg menjilatnya kencang sekali wkwkwk