Eramuslim.com – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana menaikkan tarif parkir, tak hanya sebagai cara meningkatkan pendapatan daerah, tetapi juga sebagai strategi untuk menekan penggunaan kendaraan pribadi yang dianggap sebagai biang kemacetan. Tarif parkir di beberapa lokasi bahkan diwacanakan mencapai Rp60.000 per jam, dengan harapan dapat mendorong masyarakat beralih ke transportasi umum.
Namun di balik kebijakan ini, ada ironi besar: sektor parkir justru memberikan kontribusi yang sangat kecil terhadap pendapatan asli daerah. Dari sekitar 1.000 titik parkir resmi, potensi pemasukan ditaksir mencapai lebih dari Rp600 miliar per tahun, namun hingga 2024, realisasinya hanya Rp8,9 miliar, kurang dari 2%. Kondisi ini memperlihatkan masalah sistemik, mulai dari kerusakan mesin parkir elektronik (TPE), kekurangan tenaga pengelola, hingga praktik parkir liar yang memotong aliran dana ke kas daerah.
Jika sistem parkir masih bolong di mana-mana, maka kenaikan tarif hanya akan memberatkan warga tanpa memberikan efek jera terhadap pengguna kendaraan pribadi. Masyarakat dipaksa membayar mahal, tapi dananya tidak kembali ke sistem untuk memperbaiki layanan atau mendukung subsidi transportasi umum. Alih-alih menjadi solusi, kebijakan ini bisa berubah menjadi beban yang tak adil.
Kebijakan tarif parkir tinggi hanya akan efektif bila ditopang sistem transportasi umum yang memadai. TransJakarta memang telah mencatat rata-rata lebih dari 1 juta penumpang per hari pada 2024, namun masih sering kewalahan saat jam sibuk. MRT Jakarta terus tumbuh dengan 3 juta penumpang per bulan, tetapi jangkauannya masih terbatas. Sementara LRT Jabodebek menghadapi masalah integrasi dan sinkronisasi jadwal yang mengganggu kenyamanan pengguna. KRL sebagai tulang punggung antar kota juga masih padat dan rentan gangguan, terutama di jalur Bogor dan Bekasi.
Dari total 27 juta pergerakan harian di Jabodetabek, hanya sekitar 18,86% yang menggunakan transportasi umum. Ini jauh dari target 60% pada 2030 yang tertuang dalam RPJMD. Tanpa terobosan besar, target ini akan sulit dicapai.
Parkir seharusnya menjadi salah satu sumber pendapatan daerah yang signifikan. Namun kenyataannya, sistem yang ada penuh kebocoran. Dari 201 mesin parkir elektronik, hanya 64 yang masih berfungsi. Banyak yang rusak dan tidak terawat, bahkan tidak ada suku cadangnya. Sementara itu, parkir liar terus tumbuh di berbagai sudut kota, dari trotoar hingga lahan fasilitas sosial, tanpa ada pengawasan memadai. Pengguna seringkali membayar dua kali: kepada juru parkir ilegal, dan melalui aplikasi resmi saat keluar.
Kenaikan tarif parkir berpotensi menjadi momentum reformasi, tapi juga bisa berujung kegagalan jika sistemnya tidak dibenahi terlebih dahulu. Tidak salah jika pemerintah ingin mengurangi penggunaan mobil pribadi, tetapi hal itu harus dilakukan secara adil: dengan memastikan moda transportasi publik siap menampung peralihan, dan sistem parkir transparan serta bebas kebocoran.
Pemerintah perlu mempersiapkan beberapa hal:
-
Menyediakan layanan transportasi publik yang layak dan merata.
-
Menjamin transparansi dalam pengelolaan uang parkir.
-
Menindak praktik parkir liar secara serius.
-
Memastikan bahwa setiap rupiah yang dibayarkan warga benar-benar kembali dalam bentuk layanan.
Di tengah persoalan klasik soal kebocoran dan ketidakefisienan sistem parkir Jakarta, mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), menyampaikan sebuah gagasan segar: menghapus ketergantungan terhadap mesin parkir konvensional dan menggantinya dengan sistem digital berbasis voucher.
Menurut Ahok, menyewa dan memelihara mesin parkir yang mahal seharusnya tidak lagi menjadi pilihan utama. Sebagai gantinya, Pemprov DKI bisa mendorong penggunaan voucher digital melalui aplikasi di ponsel, yang tak hanya mencatat transaksi parkir, tapi juga bisa menjadi alat insentif melalui sistem undian berhadiah. “Kenapa tidak pakai sistem voucher? Voucher-nya bisa dikaitkan dengan hadiah seperti mobil. Masyarakat pasti akan tertarik untuk meminta voucher setiap kali mereka parkir,” ujar Ahok.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa sistem ini akan menjadi skema win-win solution. Pengguna kendaraan mendapat insentif, sementara juru parkir bisa menerima komisi dalam bentuk voucher yang dapat dibelanjakan di toko-toko seperti Alfamart atau Indomaret. Pendekatan ini tak hanya meningkatkan transparansi dan efisiensi, tetapi juga menciptakan ekosistem yang saling menguntungkan.
Ahok juga menyoroti pentingnya digitalisasi parkir untuk mendukung subsidi silang program-program sosial. Menurutnya, peningkatan pendapatan dari parkir yang dikelola secara efisien harus diarahkan untuk memperkuat transportasi umum. Ia mencontohkan, tarif parkir di wilayah yang sepi bisa diturunkan, sementara lokasi yang ramai bisa disesuaikan agar tidak disalahgunakan. “Tugas pejabat itu mengadministrasikan keadilan sosial. Uang dari parkir harus bisa mendorong kemajuan layanan publik seperti bus,” tegasnya.
Ia menambahkan, kenaikan tarif parkir memang bisa dipertimbangkan, tapi harus didesain dengan pendekatan yang fleksibel dan adaptif. Misalnya, tarif progresif yang meningkat berdasarkan durasi parkir, agar pengguna tidak terlalu lama memonopoli ruang parkir. “Jam pertama mungkin murah, jam kedua lebih mahal. Seperti fast food, kursinya sengaja dibuat tidak nyaman agar pengunjung tidak berlama-lama. Ini untuk mempercepat sirkulasi,” jelasnya.
Gagasan Ahok menjadi tambahan penting dalam perdebatan publik soal wacana kenaikan tarif parkir di Jakarta. Dalam konteks sistem yang masih bocor dan tidak transparan, pendekatan inovatif seperti voucher digital dengan insentif bisa menjadi cara untuk:
-
Meningkatkan pendapatan tanpa menambah beban langsung kepada masyarakat,
-
Mendisiplinkan praktik parkir liar dan pungli,
-
Memfasilitasi program subsidi transportasi umum, dan
-
Membangun ekosistem digital yang inklusif dan partisipatif.
Namun sebagaimana diingatkan Ahok, setiap kebijakan harus dikaji secara menyeluruh. Kenaikan tarif bukan tujuan, tapi alat. Tujuannya adalah menciptakan kota yang lebih adil, nyaman, dan efisien. Dan itu hanya bisa terjadi jika pemerintah terlebih dahulu membuktikan bahwa sistem parkir layak dipercaya dan benar-benar kembali ke rakyat dalam bentuk layanan yang nyata.
Sumber: Detik News