Pendukung Petisi Online Tolak Pilkada 2020 Meroket

Selain itu, koalisi juga kecewa dengan KPU yang dianggapnya tidak memahami konteks Perppu yang dikelyarkan pemerintah itu.

“Yang tidak dipahami KPU di sini adalah, kalau pilkada dilakukan Desember 2020 artinya persiapan harus dimulai dari Juni 2020, di mana kasus positif Covid-19 masih terus meningkat,” koalisi menerangkan dalam tulisan petisi ini.

Di samping itu, dalam petisi ini Koalisi juga menyatakan bahwa Perppu 2/2020 tidak merubah pasal-pasal mengenai teknis kepemiluan yang diatur di dalam UU Pilkada. Dengan begitu koalisi menilai tahapan pilkada yang akan berlangsung nantinya masih dijalankan dengan ketentuan di UU Pilkada yang ada.

Dengan melihat hal tersebut maka tahapan Pilkada akan melanggar protokol kesehatan Covid-19 menurut koalisi ini. Disebutkan salah satu contoh pelanggaran yang akan terjadi, misalnya kampanye Cakada secara langsung yang melibatkan kerumunan orang, proses pemutakhiran data pemilih, pemungutan dan penghitungan suara, serta rekapitulasi dan penetapan hasil.

“Semua kegiatan ini kalau tanpa perubahan drastis sesuai protokol kesehatan akan beresiko menularkan Covid-19,” tegas petisi.

Kalaupun pilkada dipaksakan berlangsung pada tahun ini, koalisi menemukan masalah lain yang akan dihadapi KPU, yaitu sulitnya mendapatkan anggaran tambahan dan politisasi bantuan sosial pemerintah untuk korban Covid-19.

Sebab Kolaisi mendapatkan informasi bahwa penyelenggara pemilu di daerah tidak akan mendapat anggaran tambahan dari Pemerintah Daerah, karena minimnya APBD

.Belum lagi soal risiko politisasi bantuan sosial. Bagi-bagi bansos bisa jadi dilakukan petahana dan non petahana untuk meraup dukungan,” tulis koalisi.

“Atas pertimbangan tersebut, kami Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pilkada Sehat mendorong KPU, DPR, dan pemerintah untuk menetapkan Pilkada Serentak 2020 dilaksanakan di 2021, paling lambat bulan September,” tutupnya. (Rmol)