Peneliti LIPI Peringatkan Indonesia Diambang Perpecahan

Munculnya tagar 2019 ganti presiden, lanjut dia, menjadi pertanyaan mendasar saat ini. Apakah ini sebuah refleksi atas ketidakpuasan dan kekecewaan atas kinerja pemerintah. Warisan Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2017 seperti belum tuntas, rasa kecewa, tidak puas seakan belum mendapatkan solusi dari pemerintah.

“Makanya banyak lembaga survei mencatat, tingkat kepuasan di masyarakat sangat tinggi atas kinerja Pak Jokowi, tetapi elektabilitasnya rendah. Ini tidak masuk akal, semestinya kepuasaan diikuti juga elektabilitas seseorang,” tegasnya.

Menurut dia, hanya Indonesia yang berani melakukan lompatan-lompatan dalam mendesain pemilu. Dari demokrasi perwakilan menjadi demokrasi partisipan dari rakyat oleh rakyat. “Mungkin tidak ada di negara lain, seperti Indonesia sekarang ini, yang berani melakukan lompatan-lompatan dalam mendesain pemilu,” tuturnya.

Sementara pengamat politik Universitas Brawijaya Wawan Sobari melihat, kondisi sosial ekonomi Indonesia tercerai berai dikala demokrasi liberal dijalankan. Berbeda dengan negara-negara maju di Eropa maupun Amerika Serikat, dimana indeks pembangunan manusianya cukup tinggi, tetapi demokrasinya berjalan dengan baik.

“Coba lihat mereka negara-negara di Eropa dan Amerika sendiri, indeks pembangunan manusianya 1 sampai 10, tapi kita demokrasi sangat liberal, sosial ekonominya tercecer jauh. Kita 140-an untuk indeks pembangunan manusianya, tingkat pendidikan masih rendah, angka harapan hidup juga rendah, serta daya beli juga begitu,” ungkap Wawan terpisah.

“Kondisi itulah menyebabkan untuk mengambil jalan pintas, pemilih dibeli, praktek vote buying. Karena kita tidak sejahtera secara sosial ekonomi,” sambung Wawan. (dtk)


BEST SELLER BUKU PEKAN INI, INGIN PESAN? SILAHKAN KLIK LINK INI : https://m.eramuslim.com/resensi-buku/resensi-buku-diponegoro-1825-pre-order-sgera-pesan.htm