Perjanjian Helsinki Tak Dihiraukan Jokowi, Akankah GAM Bangkit Kembali?

Pengamat intelijen senior Suhendra Hadikuntono, mengkritisi tim tersebut karena dinilainya belum ada kinerja pergerakan sejak diinstruksikan Presiden Jokowi. Dia menjelaskan pentingnya penuntasan poin-poin MoU Helsinki yang belum direalisasikan.

Dia juga mempertanyakan bila alasan belum ada pembahasan itu karena pandemi Virus Corona (Covid-19). Sebab, setidaknya dengan cara efisiensi work from home serta teleconference bisa membahas poin-poin yang dipersoalkan.

“Instruksi Presiden Jokowi keluar jauh sebelum wabah Covid-19 datang,” ujar Suhendra yang juga termasuk tokoh perdamaian Aceh itu, di Jakarta, Kamis (4/6).

Dia menjelaskan, setidaknya ada 60 persen butir dalam MoU Helsinki yang sampai sekarang belum terealisasikan. Persoalan ini yang berimbas terhadap pembangunan di Aceh masih relatif stagnan. “Antara lain soal suku bunga, migas, dan lain-lain,” katanya.

Untuk diketahui, berikut adalah nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM):

Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka menegaskan komitmen mereka untuk menyelesaikan konflik di Aceh secara terhormat bagi semua pihak, dengan solusi yang damai, menyeluruh, dan berkelanjutan.

Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia. Para pihak sangat yakin bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut yang akan memungkinkan pembangunan kembali Aceh pascatsunami tanggal 26 Desember 2004 dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan. Para pihak yang terlibat dalam konflik bertekad untuk membangun rasa saling percaya. Nota Kesepahaman ini memerinci isi persetujuan yang dicapai dan prinsip-prinsip yang akan memandu proses transformasi.

Untuk maksud ini, Pemerintah RI dan GAM menyepakati hal-hal berikut:

1. Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh

1.1. Undang-undang tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh

1.1.1. Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan diundangkan dan akan mulai berlaku sesegera mungkin dan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006.

1.1.2. Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:

a) Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik yang akan diselenggarakan bersama dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ihwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, di mana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi.

b) Persetujuan-persetujuan internasional yang diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia yang terkait dengan hal ihwal kepentingan khusus Aceh akan berlaku dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh.

c) Keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terkait dengan Aceh akan dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh.

d) Kebijakan-kebijakan administratif yang diambil oleh Pemerintah Indonesia berkaitan dengan Aceh akan dilaksanakan dengan konsultasi dan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh.

1.1.3. Nama Aceh dan gelar pejabat senior yang dipilih akan ditentukan oleh legislatif Aceh setelah pemilihan umum yang akan datang.