Petaka Bunga Utang Ketinggian dari Menteri Terbalik

Sumber penguatan Rupiah adalah karena pemerintahan Jokowi, melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani teramat gencar menarik utang baru di pasar dengan bunga sangat tinggi.

Sederhananya, semakin banyak investor masuk membeli surat utang Indonesia, terutama yang berdenominasi Rupiah, maka harga Rupiah akan menguat akibat tingginya permintaan atas mata uang Republik.

Bangsa yang Tidak Pernah Belajar dari Kesalahan

Taktik menarik utang jor-joran dari pasar uang akan selamatkan kita untuk sementara, kurs Rupiah tetap yang tercantik. Tetapi dalam jangka yang lebih panjang, pemerintah Jokowi periode kedua pasti kelimpungan dalam mengatur anggaran karena beban bunga utang yang semakin membengkak.

Akibatnya, karena pendapatan pajak tidak meningkat, maka Pemerintah Jokowi terpaksa, dan pasti disarankan oleh para investor pemberi utang, melalui juru bicaranya yang merangkap Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani, untuk mencabut subsidi energi, sehingga tarif PLN dan BBM pun akan naik.

Seandainya benar langkah ‘austerity policy’ tersebut yang dipilih, maka siap-siap saja Pemerintahan Jokowi periode kedua menghadapi derasnya gerakan perlawanan rakyat (yang mungkin akan nyaris mirip dengan 1998) selama sisa masa jabatan.

Pembayaran pokok utang dan bunga kepada investor pasar uang tidak boleh dikorbankan, kecuali ingin Indonesia ditinggalkan oleh para investor pasar uang, begitulah ancaman juru bicara investor nanti.

Hak rakyat untuk energi dan pangan murah boleh dikorbankan, silakan saja mereka lakukan perlawanan di jalan-jalan, tetapi hak para investor untuk mendapatkan bunga tinggi harus tetap didahulukan. Karena, sekali saja Indonesia ‘default’ (gagal bayar), maka dapat dipastikan investor akan ramai-ramai melepas surat utang Indonesia.

Bila ‘hot money’ ramai-ramai keluar, keroposnya makro ekonomi Indonesia yang ditandai dengan defisit transaksi berjalan yang terdalam (USD 7 miiar di kuartal I 2019) di kawasan ASEAN, akan membuat nilai kurs Rupiah merosot sangat dalam. Mungkin akan tembus hingga di batas Rp 16.000 seperti 1997-1998, mengingat defisit transaksi berjalan Indonesia 21 tahun lalu saat jelang krisis sekitar USD 4,9 miliar, lebih kecil dari sekarang.