Petaka Bunga Utang Ketinggian dari Menteri Terbalik

Besaran kupon yang ditetapkan
oleh Chatib Basri untuk ketiga surat utang tersebut berturut-turut: 8,75%; 8,375%; dan 9,00%. Kemudian bandingkan dengan besaran bunga patokan di kurva ‘yield’ di Juli 2013 yang untuk tenor 20, 10, dan 15 tahun, berturut-turut: 8,3%; 7,871%; dan 8,201%.

Maka dapat kita amati besaran kupon surat utang yang ditetapkan Chatib Basri lebih tinggi 0,45%-0,8% dari bunga acuan di kurva ‘yield’. Mungkin ini yang membuat Chatib belum sempat mendapatkan gelar menteri keuangan terbaik dari majalah-majalah investasi asing, kupon yang diberikan ke investor kurang tinggi sedikit.

Yang paling monumental tentu adalah contoh di era Sri Mulyani yang kedua kalinya bersama Jokowi (yang pertama bersama SBY pada tahun 2006-2010, kami tidak perhitungkan karena sebagian besar sudah jatuh tempo).

Pada era yang katanya seorang ekonom senior “Menteri Terbalik”, karena hanya terbaik bagi orang kaya dan investor pasar uang, namun sebenarnya terburuk di kalangan rakyat yang menderita akibat kebijakan ‘austerity policy’, jadi diplesetkan.

Saya ambil contoh tujuh macam surat
utang yang bertenor dua tahun saja, yaitu: SBR006 (7,95%), ST004 (7,95%), SBR005 (8,15%), ST003 (8,15%), ST002 (8,55%), SBR004 (8,55%), SBR003 (8,55%). Padahal bila mengacu pada kurva ‘yield’ untuk surat utang SBR003-006 tenor 2 tahun untuk periode Mei 2018, Sept 2018, Januari 2019, April 2019, Sri Mulyani kelebihan menetapkan bunga/kupon sebesar 1%-1,9%.

Untuk surat utang ST002-004 yang seharusnya besar bunganya mengambang (floating), mengikuti kurva yield Juli 2019 di 6,2% terjadi kelebihan membayar bunga sebesar 1,7% hingga 2,23%.

APBN Negara kita dibuat Sri Mulyani dan Chatib Basri ikut menyubsidi investor pasar uang. Rakyat kita banting tulang, “kerja, kerja, kerja”, dipajaki Sri Mulyani habis-habisan, hasil keringatnya bukan kembali kepada rakyat, tapi malah buat bayar kupon surat utang yang bunganya ketinggian.

Kepada rakyat banyak yang hidupnya masih sulit, mereka berdua pelit. Kepada segelintir 1% kalangan terkaya, investor dan broker pasar uang yang belum tentu hidup matinya di Indonesia, mereka malah bermurah hati. [kk/konfrontasi]

_______________

Oleh: Gde Sandra, Peneliti Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR)