Pilpres 2019, Diamnya Sikap Muhammadiyah dan Kisah AR Fachruddin

Di awal-awal kos, sungguh aku tidak tahu siapa itu Pak AR. Saya nglamar kos di situ karena diberi tahu oleh sobat Ikhsan Haryono, mahasiswa matematika UGM, teman sekelasku.

Saya baru “ngeh” siapa itu Pak AR ketika Supodo–saat mahasiswa Fak Teknik Kimia UGM–memberi tahu siapa gerangan beliau.

Waktu itu saya tanya, kok banyak sekali kartu Lebaran dari orang besar sih Pak Podo, siapa sebenarnya Pak AR? Aku lihat di meja depan kamarku kartu Lebaran dari Pak Harto, Pak Wapres Umar Wirahadikusuma, Menteri Agama Alamsjah, Menteri Sosial, dan banyak lagi.

“Simon, Pak AR itu orang besar. Pak Harto saja sangat hormat kepada Pak AR,” kata Pak Podo. Pak AR itu ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah–tambah Pak Podo.

Oh, saya baru tahu siapa Pak AR setelah pemberitahuan Pak Podo tersebut. Kenapa demikian? Karena keseharian hidup Pak AR sangat sederhana. Seperti orang biasa lainnya dan sama sekali tak memoles citra atau ingin memberi tahu kepada orang lain bahwa dirinya ‘orang penting’.

Simon kemudian melanjutkan kisahnya:

(Pak AR) Ke mana-mana dia naik sepeda motor Yamaha mungil warna oranye engkel tahun 70-an. Suaranya sudah keretek-keretek karena terlalu tua. Apalagi kalau boncengan sama Bu AR, joknya gak cukup sampai bokong Bu AR nyaris menduduki lampu belakang motor.

Ya, hanya motor Yamaha butut itulah kendaraan miliknya. Makanan keluarga Pak AR juga sama dengan anak-anak kos seperti saya. Tahu, tempe, sayur lodeh, sesekali ada telur dan ikan. Anak-anak kos yang orang tuanya kaya, seperti Bang Udin (mahasiswa Fakultas Kedokteran UGM) jarang makan di rumah. Ia memilih lebih banyak makan di warung Padang yang ada di kawasan Terban.