Polemik 21 Juta Data Ganda Penerima Bansos

Dari data tersebut, Yandri merasa bahwa laporan disampaikan Risma ke KPK tidak memiliki dasar. Meski begitu dia dan rekan lain di DPR segera memanggil mantan wali kota Surabaya itu hadir ke Parlemen untuk menjelaskan agar informasi menjadi terang. “Makanya 21 juta itu basisnya apa?”

Langkah Risma ke KPK juga menjadi kekhawatiran tersendiri, terutama di internal PDIP. Salah seorang politikus partai banteng moncong putih di DPR, melihat bahwa ini upaya pelaporan Risma ini bisa menjadi permasalahan sendiri. Apalagi PDIP masih dalam suasana tidak baik akibat kasus dugaan korupsi dana Bansos dilakukan mantan kadernya, Juliari Batubara.

Senada dengan rekan di DPR, politikus PDIP ini menyarankan Risma harus membuka secara jelas mengenai 21 juta data ganda penerima bansos. Seharusnya menteri sosial bisa mendiskusikan dulu dengan anggota dewan.

“Seharusnya Bu Risma bisa lebih jelas menerangkan data ini,” ungkap dia.

Sementara itu, anggota komisi VIII DPR, Bukhori Yusuf, meminta Risma melaporkan secara detil 21 juta data ganda penerima bantuan sosial yang telah dinonaktifkan. Bahkan seharusnya melibatkan DPR agar menjadi pahlawan sendiri.

“Semestinya Mensos ketika menemukan sesuatu ini bisa dikomunikasikan dengan komisi jangan kemudian jadi pahlawan sendiri,” kata dia.

Mengenai masalah Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), DPR telah membentuk Panja pada tahun 2020. Hasil rekomendasi Panja saat itu perlu ada pendataan secara nasional supaya DTKS menjadi bahan rujukan untuk seluruh kementerian lembaga untuk penyaluran bantuan sosial.

Dalam pemberian bansos pada 2021, Komisi VIII DPR menyetujui untuk anggaran verifikasi dan validasi data. Meskipun sejauh ini belum ada laporan. Adapun kekhawatiran DPR jangan sampai ada salah sasaran penerima bansos. “Itu jangan sampai terjadi. Kalau yang terjadi, menurut saya itu malapetaka besar,” ujar Yandri.

Indonesian Corruption Watch (ICW) juga ikut menyoroti masalah data ganda penerima bansos. Memang seharusnya Risma sebagai pengganti koleganya di kementerian sosial, harus menyoroti permasalahan ini.

Peneliti ICW Almas Sjafrina menyebut memang ada masalah pendataan di kemensos. Salah satu isu yang ICW sampaikan ke kemensos diawal-awal pandemi bagaimana harus meminimalisir potensi pemberian bansos ganda kepada penerima. Sehingga harus diambil langkah pembenahan.

Pemberian data ini rujukan utama adalah DTKS. Kalau kemudian DTKS tidak dilakukan dengan baik dalam pendataan maka akan membuat penyaluran bansos kurang tepat sasaran. ICW pun telah melakukan riset di lapangan. Alhasil, ditemukan penerima yang dinilai lebih mampu di suatu daerah justru dapat. Bahkan ada Aparatur Sipil Negara (ASN) yang mendapatkan bansos.