Political Damage Pemilu 2009

Pemilu 2009 ini adalah terburuk sepanjang sejarah Indonesia, dan akan melahirkan ‘political damage’ (kehancuran politik) bagi Indonesia. Pemilu 2009 ini tidak akan memberikan legitimasi politik yang kuat, karena sistemnya yang amburadul, mulai dari DPT (daftar pemilih tetap),yang tidak akurat, banyaknya kecurangan, dan tingginya angka Golput, yang mencapai lebih 45 persen dari jumlah pemilih. Sehingga, nyaris hasil pemilu 2009, tidak memberikan arti apa-apa bagi masa depan demokrasi di Indonesia.

Sekarang para tokoh politik, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan pimpinan partai ramai-ramai menggugat hasil pemilu 2009. Ada sekitar 15 tokoh partai dan LSM, dan sudah lebih 10 partai politik, yang menginginkan pemilu di ulang. Diantara tokoh politik, yang berkumpul di rumah Mega, antara lain, Prabowo (Partai Gerindra), Gus Dur (Ketua Dewan Syuro PKB), Yusril Ihza Mahendra (PBB), Bursah Syarnubi (PBR), Idham Cholid (PKNU), Syahrir MS (Republikan), Zulvan Lindan (PNBKI), Rusdi Hanafi (PPP), Rizal Ramli (KBI), Amelia Yani (PPRN), Misbach Hidayat (PKB), dan tuan rumah Megawati.

Pertemuan yang berlangsung di rumah Ketua Umum PDIP itu, membahas dan mengavaluasi hasil-hasil pemilu 2009, yang menurut mereka dipenuhi dengan kecurangan.

Para tokoh politik dan LSM itu secara bersama-sama mengeluarkan pernyataan sikap berkaitan dengan pemilu 2009, antara lain :

Pertama, pemilu 9 April yang lalu adalah pemilu terburuk , karena banyaknya rakyat tidak bisa melaksanakan hak pilihnya yang dilindungi UU, karena tidak masuk dalam DPT, sehingga hal itu melanggar hak asasi manusia. Kedua, pemilu 9 April yang lalu, diwarnai banyak kecurangan dan kesalahan administrasi. Hal itu diperparah dengan sikap KPU dan KPUD yang tidak netral , karena membela kepentingan politik tertentu. Ketiga, mendesak KPU, Banwaslu, dan pemerintah untuk menindak lanjuti semua laporan kecurangan pemilu dan menegakkan hukum terhadap pelanggaran/kecurangan yang terjadi.

Sementara itu, Wiranto yang menjadi juru bicara pertemuan, menyatakan : “Kecurangan pemilu ini harus dituntaskan terlebih dahulu sebelum pilpres dilaksanakan. Kalau tidak, kami tidak akan mengakui hasil pemilu. Bagaimana mau menandatangani hasil pemilu, kalau kecurangan dibiarkan”, ujar Ketua Hanura itu. Tak kalah kerasnya datang pernyataan dari Ketua Dewan Syuro, PKB, Gus Dur, yang meminta pemilu diulang. “Pemilu kemarin itu curang. Jadih lebih baik diulang saja. Kalau KPU dan Bawaslu tidak berani mengusut kecurangan itu”, tegasnya. Dibagian lainnya, Prabowo Subianto (Gerinda), menyatakan bahwa pemilu kali merupakan pemilu yang paling buruk sepanjang sejarah demokrasi di Indonesia. “Masalah kekcurangan harus diusut dahulu, baru kita bicara soal hasil pemilu. Makanya, kami semua yang peduli pada nasib bangsa ini mendesak untuk penuntasan kasus kecurangan ini”, ungkap Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra.

Tak kalah sengitnya dengan para tokoh partai politik, Patra Zein, Ketua YLBHI, yang mewakili LSM, PBHI, KIPP, dan LBH Apik, menyatakan, bahwa dalam pemilu 2009 ini, terdapat 47 juga warga negara yang tidak dapat menggunakan hak politiknya. Maka, pemerintah harus ikut bertanggung jawab memenuhi hak dasar warga negara. “Pemerintah masih diberikan toleransi, jika dalam waktu 7 hari, hak rakyat dikembalikan dalam bentuk pemilu susulan, maka gugatan itu akan dilayangkan”, ujar Patra. Dalam kesempatan itu, Ketua PBHI, Syamsuddin Radjab, menjelaskan, banyak fakta dilapangan mengindikasikan KPU tidak independen dalam penyelenggaraan pemilu.

Misalnya, Ketua KPU, Hafiz Anshory, yang nmelakukan pencontrengan di TPS SBY, yang dengan alasan ingin melakukan monitoring pemilu. “Tidak masuk akal Ketua KPU jauh-jauh memonitor pemilu di Cikeas. Apakah ketua KPU ingin menjadi menteri agama”, sanggah Radjab. Ketua PBHI, Radjab itu mensinyalir adanya kesengajaan dalam kecurangan terutama dalam pembagian DPT, yang tujuan untuk memenangkan parpol tertentu. “Kami menduga kisruhnya ini dilakukan secara sengaja untuk memenangkan parpol tertentu. Ini membuktikan KPU tidak professional”, tandasnya.

Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim, menanggapi kekisruhan hasil pemilu ini, menyatakan,karena kurangnhya sosialisasi kepada masyarakat secara luas, sehingga hak poliltik rakyat tersalurkan dan menjadi golput, ujar Ifdhal. Meskipun, jadwal kampanye yang ditetapkan KPU, sekarang lebih panjang selama sembilan bulan.

Sementara itu, Presiden SBY, menanggapi berbagai keberatan terhdap hasil pemilu itu, menyatkan, biarlah semuanya itu diselesiakan secara hukum. “Jadi, biarlah diselesaikan sesuai jalur hukum yang ada, baik sifatnya administrative atau pidana”, tegas Presiden. Menangggapi berbagai gugatan masyarakat, dan para tokoh politik itu, fihak KPU ‘cuek’, dan menyatakan, “Yang jelas KPU sudah berbuat yang terbaik untuk pemilu kali ini. Kalau masih ada kekurangan biarlah diperbaiki, agar ke depan lebih baik”, ujar Andi Nurpati.

Setidaknya, ada 15 parpol yang menyatkan keberatan terhadap hasil pemilu 2009, dan menyatakan adanya kecurangan. 15 parpol itu (PDIP, Golkar, Gerindra, PKNU, PPRN, Barnas, Merdeka, PIS, PBB, Patriot, PPNUI, Hanura, PDS, PKDI dan Buruh). Apakah gerakan ini akan sampai membuat hasil pemilu itu, mereka tolak, dan meminta diulang? Padahal, pemilu 2009 ini, biayanya dari APBN, yang jumlah sangatlah pantastis, yang mencapai 21.7 trilyun rupiah. Belum lagi, ‘ongkos’ dari para peserta pemilu, partai-partai politik, dan perorangan yang terdiri dari para caleg, menurut penghitugnan hampir mencapai 200 trilyun.

Pemilu 2009 ini, bukan hanya akan menimbulkan ‘political damage’, kalau partai—partai yang merasa tidak puas dengan hasil pemilu, dan tidak terselesaikan dan mereka membuat gerakan, maka inilah yang menyuramkan masa depan. Sehingga, pemilu yang merupakan produk demokrasi ini, yang harganya ‘cost’ sangat mahal, justru tidak melahirkan sebuah harapan bagi perbaikan kehidupan rakyat, tapi justru mengakibatkan ‘damage’ yang dahsyat di masa depan. Yaitu, terjadinya potensi konflik dan ‘social disorder’, serta mengundang kerawanan dan instabilitas.

Belum lagi, ekses psychologis dari pemilu 2009, banyak caleg yang gagal mengalami ‘gangguan jiwa’ alias mengalami ‘mental disorder’, karena mereka kehilangan harta, harapan, dan harus menanggung malu, karena gagal terpilih menjadi anggota legislative. Bahkan, yang menyedihkan ada diantara caleg itu, yang melakukan bunuh diri, karena gagal terpilih.

Sebauh ‘pesta’ yang tidak berakhir dengan ‘happy ending’, itulah yang namanya pesta demokrasi. Semuanya, menyisakan kesedihan, keterpurukan, dan bahkan kehilangan harapan masa depan. Melebihi bencana ‘tsunami’ yang terjadi di Aceh. (m/wk/dan berbagai sumber).